Pages

Sunday, September 19, 2021

Sukses Kembangkan Tanaman Pangan Liar

Kisah Wanita dari Sidoarjo yang Sukses Kembangkan Tanaman Pangan Liar di Indonesia

MINGGU, 19 SEPTEMBER 2021 | 17:00 WIB

Berawal dari keinginannya meneliti sesuatu yang berbeda saat skripsi, Hayu Dyah kini sudah sukses mengembangkan tanaman pangan liar di Indonesia. Bersama para ibu di Jawa Timur, NTB, NTT, dan Papua, wanita yang akrab disapa Hayu ini telah mengembalikan peran tumbuhan pangan liar yang sempat ditinggalkan oleh masyarakat setempat. 

Di sisi lain, Hayu sangat prihatin dengan banyaknya kasus malnutrisi yang dialami anak-anak Indonesia, termasuk tingginya angka stunting di dalam negeri. 

"Menurut saya ironis, di satu sisi kita dibilang sangat kaya. Tapi di sisi lain, bagaimana bisa orang kelaparan di negara yang kaya ini kan enggak nyambung. Jadi, saya kemudian mulai menggali terus keragaman hayati terutama tumbuhan pangan liarnya," kata dia kepada Sariagri, beberapa waktu lalu.

Berikut petikan wawancara jurnalis Sariagri, Istihanah bersama Hayu Diah Patria beberapa waktu lalu. 


Darimana ide mengembangkan tanaman pangan liar?

Mulai itu sekitar 2002-an, awalnya skripsi S1 saya kan teknologi pangan. Jadi waktu itu saya emang pengen yang lain daripada yang lain. Soalnya kebanyakan teman-teman di Teknik Pangan itu kebanyakan penelitiannya produk industri makanan, seperti nugget atau snack. 


Kepikiran mengembangkan tanaman pangan liar sendiri darimana? 

Saat sedang cari-cari, saya ketemu sebuah buku. Kemudian di situ dijelaskan kalau beberapa masyarakat adat di Papua, khususnya yang tinggal di pesisir memanfaatkan mangrove sebagai salah satu makanan utama, selain sagu atau umbi-umbian. Kemudian salah satu jenis mangrove itu banyak di dekat rumah saya. 


Kapan mulai serius mengembangkan tanaman liar?

Ya udah, dari situ setelah lulus saya mikir itu masih satu jenis tumbuhan ya, padahal Indonesia kan negara  dengan keanekaragaman hayati terbesar di dunia.

Jadi saya kemudian mikir pasti masih ada ribuan tumbuhan lain yang dimanfaatkan masyarakat tapi orang-orang enggak pernah mendengar. 


Kenapa tumbuhan pangan bukan obat?

Karena sebenarnya kesehatan itu berasal dari apa yang kita makan. Kalau apa yang kita makan itu sehat, sebenarnya tubuh tetap terjaga dan obat-obatan bisa dihindari. Dari situ sih kemudian saya makin banyak berkegiatan dengan komunitas-komunitas lokal dan masyarakat adat terutama kaum perempuan. 


Sekarang udah berapa tanaman liar pangan?

Enggak menghitung ya. Karena semua masih data kasar aja, tapi kayanya ada ratusan jenis tapi itu tersebar di banyak masyarakat enggak hanya di satu tempat aja. 

Jadi di setiap komunitas pasti ada sesuatu yang unik atau sama, tapi cara penyebutan dan pengolahannya berbeda. 


Bagaimana sambutan komunitas soal ide ini?

Sebenarnya kalau ditilik dari sejarahnya, komunitas itu sudah memanfaatkan banyak sekali tumbuhan pangan liar. Apalagi, orang zaman dulu sangat dekat dengan alam dan juga tergantung dengan alam serta mereka memanfaatkan apa yang ada di alam itu. 

Jadi, mereka pasti mengkonsumsi tumbuhan pangan liar, cuma seiring waktu karena globalisasi pangan dan perubahan gaya hidup dan kemudian mempengaruhi pola makan mereka jadi seiting waktu jadi kurang. 


Kenapa sih masyarakat adat meninggalkan tanaman pangan liar? 

Jadi sekarang kalau saya datang ke suatu desa atau komunitas, selalu disuguhi mi instan karena mereka menganggap orang kota tidak doyan makanan lokal. Mereka mikir tumbuhan pangan liar itu makanan untuk orang miskin dan itu saya temui dimana-mana dari Jawa sampai Papua. Kebanyakan mindset mereka sudah berubah, budaya pangan mereka yang asli itu untuk orang miskin dan itu yang paling menyedihkan sih. 


Apa saja kegiatan yang dilakukan oleh para ibu-ibu ini?

Pada intinya sih saya memperkenalkan kembali budaya pangan lokal mereka, tumbuhan pangan lokal mereka. Nantinya, mereka akan mulai mengembangkan kembali resep masakan atau mengembangkan tumbuhan tersebut membangun kebun tanaman pangan liar, khususnya masyarakat yang ada di dekat hutan. 


Kenapa mereka membangun kebun sendiri?

Karena masyarakat dilarang masuk ke dalam hutan konservasi atau hutan lindung, tapi kalau cuma ambil sampel untuk dikembangkan tidak apa-apa. 


Bagaimana sambutan mereka?

Awalnya mereka merasa malu untuk mengaku kalau masih konsumsi tanaman pangan liar, tetapi setelah saya jelaskan soal gizi dan manfaatnya mereka kemudian tertarik. 


Apasih tantangan terbesar melakukan kegiatan ini?

Mindset-nya sih, apalagi setelah revolusi hijau, monokultur itu kan besar-besaran dan ada banyak propaganda terutama tentang kalau tidak makan beras itu bukan orang Indonesia asli atau jadi warga negara kelas dua. 

Jadi masyarakat yang makanan awalnya bukan padi, tapi sejak tahun 70-an mereka mulai beralih ke beras karena tidak ingin menjadi warga negara kelas dua. 

Kemudian sistem patriarki. Jadi suami-suami banyak yang tidak rela kalau istrinya aktif atau mendapatkan edukasi. Jadi kalau kami ada jadwal berkebun, ada beberapa yang dilarang suami untuk pergi, alasannya nanti enggak ada yang melayani para suami. Sistem patriarki ini cukup menghambat kegiatan para ibu-ibu di komunitas. 


Harapannya apa sih?

Saya harap sih jangan sampai ada kasus kelaparan atau malnutrisi, terutama di kalangan perempuan dan anak-anak. Karena keragaman hayati kita itu luar biasa. Kalau dari studi paling terakhir FAO terlahir ada lebih dari 7.000 jenis tumbuhan yang bisa dimakan dan Indonesia itu negara biodiversity, jadi seharusnya kita punya ratusan bahkan ribuan jenis makanan yang bisa dimakan. Jadi, mari kita gali kembali pengetahuan tradisional leluhur kita. 


Sumber :

https://pangan.sariagri.id/79020/kisah-wanita-dari-sidoarjo-yang-sukses-kembangkan-tanaman-pangan-liar-di-indonesia?utm_source=dlvr.it&utm_medium=twitter

No comments:

Post a Comment