Pages

Saturday, April 30, 2022

How Asian Companies Can Take Part In The Green Start-Up Boom

By Gautam Kumra and Vivek Lath

The opportunities for building green businesses are more attractive than ever and Asian energy players – both established firms and start-ups – should seize the moment and apply the lessons learned globally.

Asia could potentially see up to a ten-fold increase in overall start-up activity over the next three to four years, recent McKinsey research suggests. A large proportion of that could be in green and sustainability-related sectors.

Figures show that over the past three years, more than 25 green businesses around the world have joined the unicorn club, with a combined valuation exceeding $70 billion. There has also been a more than 67% increase in deals since 2018, with a total of $2 billion invested globally in sustainability-themed start-ups across 260-plus deals. Europe and North America currently lead in terms of investment size, with Asia rapidly catching up.

Much of this momentum is concentrated in the energy industry due to advances in technology, financing, and regulatory policies. In power generation renewable energy (RE), sources will only grow, and are expected to account for half of all power generation by 2035. In shipping, the pressure to decarbonize has also encouraged the development of alternative fuels such as liquefied natural gas (LNG), hydrogen and ammonia. In road transport, there is an ongoing major shift from internal combustion engines (ICEs) to hybrid and electric vehicles (EVs).


Committed To Action

Companies should recognize the urgency of the moment and act decisively. Value pools are shifting and all stakeholders – consumers, investors, and regulators – are now committed to sustainability. Firms and investors need to rapidly pivot to greener avenues and be committed to following this path.

The lessons learned from other regions show the strategic way forward on this green path:

  • Identify replicable opportunities. Different regions and different countries are further along their green journey than others. Rates of adoption of the latest technology also differ. As a result, companies can look at various green sectors (such as hydrogen or batteries) in Europe and the United States, or even across neighbors in Asia, and see what they can apply in their respective countries
  • Build with agility and strength. Top business leaders need to achieve a balance between having the agility of a start-up and the strength of an incumbent. Having a focus on leadership, customers, and talent, allows firms to launch new ventures that are both a pathway to organic growth—safeguarding at-risk revenue streams – and new growth areas
  • Corporate Venturing. Leaders need to set up a screening system and then invest meaningfully in innovative startups. Taking such a portfolio approach diversifies risk and builds the capability for launching new businesses. BP, for example, created its in-house, business-building engine called Launchpad to set up five digitally led, low-carbon businesses
  • Find partners. By seeking out partnerships, companies can expand and replicate what other companies have learned. For example, Japanese onshore wind players Japan Wind Development (JWD) and Eurus Energy partnered with Orsted. The Danish firm is the world's largest developer of offshore wind power. Together the partners are jointly bidding to win one of Japan’s first offshore wind projects in 2022 
  • Work with the public sector. Regulatory incentives such as feed-in tariffs and other subsidies are behind many of the notable success stories in green business building. These have also created value beyond the local markets in which they originated. For example, Chinese electric vehicle companies have grown out of domestic subsidies and are now supplying vehicles and components to global markets


Green-Business Value Proposition

Developments in both technology and government policy have decisively shifted momentum towards sustainability in the energy sector. Governments are working towards carbon neutrality with more than 130 nations committed to or considering a net-zero target. One in five global Fortune 2000 companies have pledged the same. At the same time, consumers are paying more attention to the environmental credentials of the brands they consume.

As consumers, investors and regulators demand more sustainability from companies, the green-business value proposition should accelerate. In this dynamic landscape, incumbents will find themselves defending their positions and competing against start-ups hungry for a slice of the pie. The winners will be those that can identify emerging trends, create clear value propositions, work hand in hand with policymakers and execute at speed.


Gautam Kumra is the Chairman of McKinsey’s Asia offices, while Vivek Lath is a partner based in McKinsey’s Singapore office.


Sumber :

https://sponsored.bloomberg.com/article/mckinsey/how-asian-companies-can-take-part-in-the-green-start-up-boom

Friday, April 29, 2022

Dodo Punah karena Evolusi Lambat dan Perubahan Lingkungan

Bagaimana Burung Dodo Bisa Punah? 
29/04/2022


Burung dodo merupakan burung endemik yang tinggal di Pulau Mauritius. Namun, burung dodo kemudian punah dari muka Bumi tanpa satu pun spesimen burung yang mampu bertahan hidup. Burung yang bisa tumbuh hingga berukuran satu meter ini bahkan tak sempat didokumentasikan. 

Peneliti modern harus melihat ke lukisan sejarah dan karya seni untuk mempelajari mengenai seperti apa rupa dodo. 

Itu mengapa kepunahan dodo hingga kini masih menjadi misteri dan bahan penelitian para ahli. Meski begitu, musnahnya burung ini disebut karena kombinasi dari evolusi lambat burung dan perubahan lingkungan yang cepat. 

Mengutip Live Science, Kamis (28/4/2022) spesies yang tak bisa terbang dan lambat berkembang biak ini rentan terhadap datangnya predator baru di pulau tempat mereka hidup yang aman. Selama jutaan tahun, sebelum manusia menginjakkan kaki di Mauritius, pulau tersebut tak memiliki predator darat yang besar. 

Namun saat pulau kedatangan predator, dodo lambat merespons ancaman yang baru datang itu. Artikel di National Geographic menuliskan, dodo dikatakan tak takut pada manusia yang mendarat di pantai pulau mereka, sehingga burung-burung ini mudah ditangkap dan dibunuh oleh para pelaut Belanda yang kelaparan. 

Dan bukan hanya manusia saja yang mengonsumsi dodo. Spesies yang ikut dibawa di pulau termasuk tikus, babi, kambing, dan monyet, menurut sebuah studi di Journal of Vertebrate Paleontology kemungkinan juga menangkap dan memakan dodo beserta telurnya. 

Tragisnya bagi dodo, setiap telur yang dimakan mewakili satu-satunya kesempatan dodo betina untuk bereproduksi tahun itu. Tanggal resmi kepunahan dodo tak pasti. Populasi dodo menyusut jauh dari pengamatan manusia. 

Namun menurut sebuah studi yang diterbitkan di jurnal Nature, peneliti yang menggunakan metode statistik memperkirakan kepunahan dodo pada akhir 1690. 

Menghidupkan kembali dodo Beberapa ilmuwan pun berambisi menghidupkan kembali dodo ke Bumi, seperti halnya ambisi mereka menghidupkan mammoth. Tetapi menurut ahli biologi molekuler evolusioner Beth Shapiro di University of California, kecil kemungkinan itu bisa terjadi dalam waktu dekat. 

Ada sejumlah alasan mengapa dodo menjadi rumit untuk dihidupkan kembali. Menurut Shapiro, dodo bukan kandidat yang baik untuk kloning karena hanya ada sedikit sumber DNA, reproduksi burung yang sangat rumit, dan belum tentu ada habitat bagi mereka untuk kembali. 

Kloning sulit dilakukan karena tak ada sel hidup dari dodo yang tersedia sekarang sebagai media untuk mentransplantasikan DNA. Yang bisa dilakukan adalah mengambil genom hewan yang berkerabat dekat kemudian mengubahnya agar menyerupai dodo. 

Adapun kerabat terdekat dodo yang masih hidup adalah merpati Nicobar (Caloenas nicobarica). Itu pun sepertinya juga belum cukup karena perbedaan genetik antara kedua spesies burung jauh lebih besar, sehingga lebih sulit untuk membuat hibrida yang sukses di laboratorium. 

Namun beberapa saat yang lalu Shapiro dan timnya melakukan studi dan menyebut telah berhasil mengurutkan seluruh genom dodo. Penelitian ini belum ditinjau oleh rekan sejawat dan tim bermaksud untuk segera mempublikasikannya. 

Merekonstruksi genom dodo bukanlah hal yang mudah. Pertama, Shapiro dan timnya harus menemukan DNA dodo yang utuh, terkubur di sumsum tulang yang telah bertahan ratusan tahun di lingkungan Mauritius yang hangat dan lembab. 

Kemudian, mereka harus memilah DNA yang ditemukan milik dodo dan mana yang berasal dari jamur serta bakteri yang telah menyerang tulang saat mereka membusuk. Meski pengurutan genom sudah berhasil dilakukan, ini belum menjamin kebangkitan dodo kembali karena sistem reproduksi burung yang terbilang rumit. 

Peneliti menyebut cukup sulit untuk memanen dan memanipulasi sel telur burung dengan aman. Bahkan jika para ilmuwan berhasil menghidupkan kembali dodo, pulau tempat mereka pernah tinggal adalah tempat yang sangat berbeda saat ini. 

"Jika kita tidak memecahkan masalah yang menyebabkan kepunahan mereka sejak awal, mungkin tidak ada gunanya menghabiskan semua energi dan upaya yang diperlukan untuk membawa mereka kembali," ungkap Shapiro.


Sumber :

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Bagaimana Burung Dodo Bisa Punah?", Klik untuk baca: https://www.kompas.com/sains/read/2022/04/29/160300123/bagaimana-burung-dodo-bisa-punah-?page=all#page2.
Penulis : Kontributor Sains, Monika Novena
Editor : Bestari Kumala Dewi

Download aplikasi Kompas.com untuk akses berita lebih mudah dan cepat:
Android: https://bit.ly/3g85pkA
iOS: https://apple.co/3hXWJ0L

Monday, April 18, 2022

Larva Black Soldier Fly

Larva Black Soldier Fly Solusi Penanganan Sampah Dapur yang Mendatangkan Cuan 

Selasa 19 April 2022, 12:30 WIB 

BIOKONVERSI dengan menggunakan tentara lalat hitam atau Black Soldier Fly (BSF) selain menjadi solusi penanganan sampah organik, juga bernilai ekonomi tinggi dari produk yang dihasilkan berupa maggot dan kompos. 

"Maggot BSF memiliki keunggulan sebagai pakan ternak. Eropa bahkan telah memanfaatkan larva sebagai salah satu pakan ternak berkelanjutan demi menunjang kebutuhan pangan. Terlebih kebutuhan akan protein hewani meningkat seiring dengan meningkatnya angka pertumbuhan populasi," terang Guru Besar Fakultas Peternakan IPB University, Prof Dewi Apri Astuti, dikutip dari laman IPB. 

Sampah organik, katanya, dapat digunakan sebagai media pertumbuhan larva. Produknya dapat dikomersialisasikan dalam larva segar, larva kering, tepung maggot dan sisa limbah seperti kitin dan kitosan. Sisa limbah ini dapat dipergunakan di bidang kosmetik dan makanan. 

“Media sangat mempengaruhi bagaimana kualitas larva. Bagusnya limbah-limbah dapur atau pasar dikombinasikan dengan sumber-sumber protein yang lebih tinggi,” sebutnya.   

Dewi mengungkapkan, dari media sampah organik sekitar 800 kg dapat menghasilkan 300 kg larva. Harga media dan biaya operasionalnya berbeda-beda tergantung lokasi. Namun kombinasi dengan bungkil sawit dinilai lebih baik karena dapat menghasilkan larva berprotein tinggi.   

“BSF sudah merambah ke industri yang menjanjikan. Pembudidaya pemula maggot dapat memulainya dengan cukup mengumpulkan (larva) untuk pakan ikan dan unggasnya,” tambahnya. 

Ia menjelaskan bahwa larva BSF merupakan nutrien berkualitas, mudah dipelihara, murah dan memberi solusi dalam masalah lingkungan.  “Kehadiran BSF sebagai pakan ternak ini memiliki potensi untuk mengolah limbah menjadi rupiah,” katanya. 

Menurutnya, kehadiran pakan berkontribusi signifikan untuk menghasilkan produksi ternak yang optimum. Dikarenakan biaya pemberian pakan yang cukup tinggi, dunia peternakan mencari alternatif pakan yang efisien, salah satunya BSF. 

Solusi ini dapat mengatasi tingginya angka impor tepung ikan yang menyebabkan defisit negara. Dewi mengatakan, IPB University juga memiliki rumah BSF dan produksinya sudah kontinyu. Di rumah BSF, ia mengkombinasikan limbah ternak yang biasanya berkadar nitrogen tinggi dengan limbah sayuran/hijauan atau cacahan sisa pakan ternak. Rasio ini dapat menghasilkan komposisi larva yang berkualitas baik. 

“Nutrisi larva BSF sebagai pakan ternak sudah terbukti nyata memiliki keunggulan. Pemberian pada unggas tidak memberikan perbedaan yang nyata dalam hal konsumsi. Bahkan, dapat menekan biaya produksi serta menghasilkan berat telur lebih tinggi serta rendah kolesterol dan tingkat imunitas yang baik,” ujarnya. 

Selain itu, lanjutnya, dapat diolah sebagai susu pengganti anak ternak dan menjadi produk pakan tinggi energi bagi ruminansia. Produk samping kitosannya juga dapat dimanfaatkan untuk mengatasi pertumbuhan bakteri metanogen pada limbah ternak yang berpengaruh buruk pada kualitas lingkungan.


Sumber: 

https://mediaindonesia.com/humaniora/486771/larva-black-soldier-fly-solusi-penanganan-sampah-dapur-yang-mendatangkan-cuan