Pages

Monday, July 11, 2022

Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca

Indonesia Kawal Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca

Presidensi G20 menjadi momentum Indonesia memperkuat komitmen global dalam mengurangi emisi gas rumah kaca. Peralihan energi dan rehabilitasi lahan akan menjadi modal penting untuk memitigasi dampak perubahan iklim di masa depan.

Chair of G20 Environment Deputies Meeting and Climate Sustainability Working Group (EDM-CSWG) Laksmi Dewanthi mengatakan, semua negara harus berkontribusi mengurangi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer. Hal ini sebagai upaya bersama untuk mencegah kenaikan suhu bumi tidak melebihi 1,5 derajat celsius.

”Momentum presidensi G20 digunakan Indonesia untuk memberikan kontribusi lebih pada global dan saat bersamaan memberikan manfaat kepada masyarakat,” ujarnya dalam ”Bincang Dua Puluh: Misi Keberlanjutan Melalui Penurunan Emisi” yang digelar harian Kompas bersama PT Freeport Indonesia, Kamis (7/7/2022).

Laksmi yang juga Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menuturkan, untuk mencapai target global, setiap negara menetapkan target masing-masing dalam menurunkan emisi. Indonesia, misalnya, menargetkan penurunan emisi 29 persen pada 2030 dengan upaya sendiri dan 41 persen dengan dukungan internasional.

Indonesia menetapkan tiga isu prioritas dalam EDM-CSWG G20. Pertama, upaya pengendalian perubahan iklim, baik adaptasi maupun mitigasi yang berkontribusi pada pemulihan, termasuk dari pandemi Covid-19. Kedua, meningkatkan pengelolaan lingkungan berkelanjutan, seperti berbasis kelautan dan berbasis lahan dengan penanaman pohon.

Ketiga, memobilisasi berbagai sumber daya, termasuk pendanaan, untuk mendukung aksi nyata dalam mengantisipasi dampak perubahan iklim. ”Jadi, target Indonesia pada G20 adalah memastikan negara-negara anggota memenuhi targetnya masing-masing dalam menurunkan emisi GRK,” katanya.

Menurut Laksmi, dibutuhkan kolaborasi global agar kenaikan suhu bumi tidak melebihi 1,5 derajat celsius. Kolaborasi itu tidak hanya melibatkan pemerintah, tetapi juga perusahaan dan masyarakat luas.

”Menurunkan emisi bukan semata-mata karena Paris Agreement atau perjanjian komitmen lainnya. Namun, hal ini juga mandat konstitusi dalam menyediakan lingkungan bersih dan sehat bagi rakyat. Jadi, jika target tidak tercapai, yang dirugikan kita sendiri,” jelasnya.

Menurunkan emisi bukan semata-mata karena Paris Agreement atau perjanjian komitmen lainnya. Namun, hal ini juga mandat konstitusi dalam menyediakan lingkungan bersih dan sehat bagi rakyat.


Kontribusi perusahaan

Di Indonesia, upaya menurunkan emisi tersebut membutuhkan dukungan dari sejumlah pihak, termasuk perusahaan tambang. Sebab, perusahaan menggunakan energi yang besar untuk kendaraan operasionalnya.

PT Freeport Indonesia, misalnya, menargetkan pengurangan emisi GRK sebesar 30 persen pada 2030. ”Ini bagian dari upaya kami mendukung ekonomi hijau dan bagian dari target pemerintah mencapai nol emisi karbon pada 2060,” ujar Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Tony Wenas.

Salah satu langkah PT Freeport Indonesia dalam menekan emisi adalah dengan menggunakan kereta listrik untuk menggantikan dump truk. Dengan begitu, penggunaan bahan bakar fosil bisa dikurangi.

Tony mengakui, transisi menuju energi lebih ramah lingkungan memerlukan investasi besar. ”Namun, ini harus dilakukan. Tidak hanya menghitung berapa investasinya, tetapi juga melihat dampak ke depan bagi keberlanjutan. Perusahaan lain juga sudah mengarah untuk mengganti energi fosil,” jelasnya.

Vice President Environmental PT Freeport Indonesia Gesang Setyadi menyebutkan, penggunaan kereta listrik tersebut dapat mengurangi emisi karbon sekitar 80.000 metrik ton per tahun. Jumlah itu setara dengan emisi yang dihasilkan oleh 50-60 dump truk.

Gesang mengatakan, pihaknya juga sedang mengkaji rencana mengganti tiga unit pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dengan pembangkit listrik tenaga minyak dan gas bumi (PLTMG) sebagai pemasok listrik. ”Jika ini terealisasi, dapat mengurangi emisi hingga 50 persen,” ujarnya.

Gesang menambahkan, pihaknya juga merehabilitasi lahan dengan menanam jutaan pohon di sekitar kawasan pertambangan. Langkah ini dilakukan untuk mengoptimalkan penyerapan karbon.

Direktur Yayasan Kehati (Keanekaragaman Hayati Indonesia) Puspa D Liman menyebutkan, semua aktivitas mengubah bentang alam akan berdampak terhadap lingkungan di sekitarnya, termasuk memicu perubahan iklim. Namun, berbagai upaya dapat dilakukan untuk memitigasi dampak itu, salah satunya rehabilitasi lahan.

”Kunci yang paling utama adalah keberlanjutan program. Kami melihat pendanaan untuk memitigasi perubahan iklim belum menjadi perhatian utama,” katanya.

Wakil Redaktur Pelaksana Kompas Marcellus Hernowo mengatakan, sejumlah survei menyebutkan kekhawatiran anak muda terhadap dampak perubahan iklim. Dampak perubahan iklim, seperti bencana hidrometeorologi, juga lebih intens dibandingkan lima tahun lalu.

”Semua pihak mesti ambil bagian dalam mengatasi dampak perubahan iklim. Pemerintah, misalnya, harus berinvestasi pada sumber energi terbarukan seperti angin dan surya. Selain itu, emisi dari perusahaan serta industri juga perlu dikurangi,” ujarnya.


Sumber :

https://www.kompas.id/baca/humaniora/2022/07/07/indonesia-kawal-penurunan-emisi-gas-rumah-kaca?utm_source=medsos_twitter&utm_medium=link

Sunday, July 10, 2022

Distribusi Galon vs Paparan BPA

Pola Distribusi Galon Guna Ulang Dinilai Perparah Paparan BPA

Dekan Fakultas Farmasi Universitas Airlangga Prof. Junadi Khotib menilai pola distribusi galon guna ulang yang buruk bisa memperparah pelepasan (migrasi) bahan kimia berbahaya Bisphenol A (BPA).

Peneliti senior ini mengungkapkan bahwa pelepasan BPA sangat tergantung pada suhu dan tingkat keasaman. Hal tersebut berdasarkan penelitian tentang kinetika pelepasan BPA dari kemasan polikarbonat.

"Ketika dalam distribusi dan produksi, kemasan galon air minum terpapar cahaya matahari langsung sehingga suhunya meningkat, tentu di sana sangat cepat terjadi migrasi," ujarnya melalui keterangan tertulis di Jakarta, baru-baru ini.

Menurut Junaidi, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) seharusnya tidak membiarkan masyarakat terus menerus terpapar kimia BPA, sebab, efeknya bisa berbahaya pada kesehatan, termasuk gangguan perkembangan otak dan mental anak usia dini.

Dia mengatakan BPOM bisa memperkecil peluang paparan risiko BPA melalui pemberian label pada kemasan makanan dan minuman.

"Itu bagian dari edukasi publik sekaligus bentuk perlindungan untuk masa depan anak-anak Indonesia," ujarnya.

Hal senada diungkap Guru Besar bidang pemrosesan pangan Departemen Teknik Kimia Universitas Diponegoro, Prof. Andri Cahyo Kumoro. Dia menilai produsen air minum dalam kemasan (AMDK) kerap abai menjaga mutu dan kualitas air dalam kemasan hingga ke tangan konsumen.

Menurutnya, produsen AMDK mengangkut air galon dengan seenaknya. Galon kerap terpapar sinar matahari langsung, terguncang-guncang.

"Ini sangat berpotensi menjadikan BPA terlepas dengan cepat," katanya.

Menurut dia, pola distribusi yang seenaknya itu terjadi karena masyarakat banyak yang belum mengetahui bahaya paparan BPA. Oleh karena itu, pelabelan BPA pada kemasan galon menjadi pilihan tepat untuk mendidik masyarakat.

Sampai saat ini masyarakat belum mengetahui risiko BPA pada galon polikarbonat, padahal migrasi zat kimia itu ke dalam makanan atau minuman adalah sesuatu yang jamak pada kemasan pangan dari jenis plastik polikarbonat.

Data BPOM menyebut 96,4 persen galon bermerek yang beredar luas di pasaran menggunakan kemasan polikarbonat,jenis plastik keras yang pembuatannya menggunakan bahan campuran BPA. (antara/jpnn)


Sumber :

https://m.jpnn.com/news/pola-distribusi-galon-guna-ulang-dinilai-perparah-paparan-bpa?page=2