Pages

Sunday, January 28, 2024

Carbon Capture and Storage

Carbon Capture and Storage (CCS) merupakan salah satu teknologi mitigasi pemanasan global dengan cara mengurangi emisi CO2 ke atmosfer. Teknologi ini merupakan rangkaian pelaksanaan proses yang terkait satu sama lain, mulai dari pemisahan dan penangkapan (capture) CO2 dari sumber emisi gas buang (flue gas), pengangkutan CO2 tertangkap ke tempat penyimpanan (transportation), dan penyimpanan ke tempat yang aman (storage).

Pemerintah mulai memetakan pengembangan teknologi carbon capture and storage yang digadang-gadang akan menjadi jalan baru bagi pemerintah dalam menarik investasi khususnya sektor industri untuk masuk ke Indonesia. Secara sederhana CCS adalah teknologi yang digunakan untuk menyimpan emisi CO2 dari kegiatan industri sehingga tidak mencemari udara.

CO2 yang diinjeksikan ke dalam tanah itu juga bisa mengisi pori-pori batuan. Dengan begitu, CO2 yang telah masuk ke dalam reservoir dipastikan tetap tersimpan dengan aman. Prospek bisnis dari sisi hulu penyedia CCS, adalah dari biaya penyimpanan CO2, biaya injeksi, maupun carbon credit.


Tahapan utama CCS terdiri dari:.

  • Pertama, Capture (penangkapan): Tahap awal pemisahan CO2 dari bahan bakar atau gas buang pembakaran. CO2 yang ditangkap kemudian dikompresi menjadi cairan atau fluida superkritis.
  • Kedua, Transport (transportasi): CO2 perlu diangkut menggunakan pipa khusus menuju lokasi penyimpanan.
  • Ketiga, Storage (penyimpanan): CO2 superkritis disuntikkan ke dalam lapisan batuan yang berpori dan memiliki permeabilitas baik untuk penyimpanan jangka panjang.


Mengurangi emisi CO2 dalam jumlah besar membutuhkan pengendalian gas buang dari pembangkit listrik, namun hal ini tidaklah mudah. Gas buang biasanya memiliki tekanan rendah dan konsentrasi CO2 yang rendah, sehingga proses pemisahan memerlukan energi yang besar.


Meskipun memakan biaya yang sangat besar, biaya dari CCS dapat diturunkan apabila sudah diimplementasikan pajak karbon. Di negara-negara maju seperti Norwegia, teknologi CCS sudah termasuk lazim diimplementasikan sehingga biaya implementasi dapat ditekan drastis. Untuk mengantisipasi jika teknologi ini dijadikan semacam kewajiban untuk diimplementasikan di seluruh dunia oleh negara-negara maju, pembelajaran tentang implementasi CCS penting untuk dilakukan saat ini.


Menurut International Energy Agency (IEA), volume emisi CO2 akibat pembakaran bahan bakar fosil mencapai 56% dari total semua emisi global. Nilai ini berasal dari sekitar 7500 instalasi besar peng-emisi CO2 yang mengemisikan lebih dari 1000.000 ton CO2 setiap tahunnya. Kajian IEA lebih lanjut menyimpulkan bahwa dari jumlah tersebut, pembangkit listrik batubara (PLTU) merupakan sumber emisi utama yang mencapai lebih dari 60%. Selanjutnya PLTG 11% dan PLTD 7%. Sementara itu, industri lain menyumbang sekitar 3-7%.


Dalam upaya mencapai Net Zero Emission pada 2060, Indonesia berambisi mengembangkan teknologi CCS dan membentuk hub CCS. Inisiatif tersebut tidak hanya akan menampung CO2 domestik tetapi juga menggali kerja sama internasional. Sebab, hal ini menandakan era baru bagi Indonesia. CCS diakui sebagai ‘license to invest’ untuk industri rendah karbon seperti blue ammonia, blue hydrogen, dan advanced petrochemical. Inisiatif ini diharapkan tidak hanya membantu Indonesia dalam mencapai tujuan lingkungan global, tetapi juga mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan inovatif.


Kenyataan tersebut menjadikan tantangan ke depan yang harus diantisipasi agar dapat menciptakan proses penangkapan CO2 yang efektif dan efisien. Walaupun secara umum teknologi CCS cukup menjanjikan untuk dipergunakan dalam menangani sumber emisi CO2 yang besar, seperti pembangkit listrik berbahan bakar fosil atau industri besar lainnya. Namun masih banyak hal-hal yang perlu diselesaikan sebelum CCS dapat diterapkan secara penuh, seperti perbaikan teknologi, legalisasi dan pembiayaan.



Sumber :

https://www.esdm.go.id/id/media-center/arsip-berita/carbon-capture-and-storage-3-sistem-penangkapan-co2

https://ekonomi.republika.co.id/berita/s0teq3502/mengenal-carbon-capture-and-storage-yang-mau-dijadikan-ri-untuk-tarik-investasi-asing

https://umsu.ac.id/berita/carbon-capture-and-storage-ccs-definisi-dan-peran-penting-di-indonesia/

http://pojokiklim.menlhk.go.id/read/potensi-dan-tantangan-implementasi-teknologi-carbon-capture-storage-untuk-mengurangi-emisi-karbon

https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20231222211626-532-1040916/apa-itu-carbon-capture-and-storage-yang-ditanya-gibran-ke-mahfud-md.

https://infobanknews.com/istilah-carbon-capture-storage-yang-disebut-gibran-ternyata-jadi-salah-satu-pendorong-ekonomi-ri/#google_vignette

https://news.detik.com/pemilu/d-7105112/apa-itu-carbon-capture-storage-istilah-yang-dipakai-gibran-di-debat.

https://www.liputan6.com/pemilu/read/5490847/istilah-carbon-capture-and-storage-dari-gibran-buat-masyarakat-kepo-ini-dia-artinya?page=2

Tuesday, January 23, 2024

Nikel atau Besi? (LFP Lithium Iron Phosphate Battery)

Nikel berperan penting dalam industri kendaraan listrik, karena nikel merupakan bahan baku utama pembuatan baterai kendaraan listrik. Hal ini juga mendukung transisi energi dari energi tenaga fosil ke energi hijau.

Hal ini bertujuan selain harga bahan fosil yang kian mahal, juga agar lebih ramah lingkungan demi kelestarian lingkungan. Sebab, kendaraan listrik tidak menghasilkan emisi gas buang dan mengurangi polusi udara.

Nikel dipadukan bersama kobalt dan mangan untuk memproduksi baterai lithium-ion, jenis baterai paling umum digunakan dalam motor maupun mobil listrik. Selain tahan karat, komposisi ini juga unggul dari sisi kepadatan serta harga yang lebih murah dari bahan baku lainnya.

Penggunaan nikel sebagai bahan baku baterai bukanlah hal baru. Produk baterai dari nikel antara lain baterai ponsel, kamera digital, laptop dan alat-alat kelistrikan lainnya. Seiring dengan kemajuan teknologi baterai, kini nikel banyak diburu untuk membuat baterai kendaraan berbasis listrik.

Penggunaan nikel ke depan diperkirakan akan meningkat signifikan seiring pertumbuhan kendaraan listrik di berbagai negara. Meski saat ini pangsa pasar kendaraan listrik masih kecil, ke depan tren kendaraan listrik diprediksi bakal tumbuh pesat.

Saat ini lebih dari dua pertiga pemanfaatan nikel sebagai bahan baku pembuatan baja tahan karat alias stainless steel. Kandungan nikel dalam pembuatan stainless steel mencapai 75 persen. Stainless steel yang terbuat dari nikel juga mudah dibentuk sehingga penggunaan stainless steel pun sangat luas.

Pemanfaatan nikel saat ini adalah:.

  • 69 persen stainless steel.
  • 11 persen baterai.
  • 7 persen paduan nonbesi.
  • 6 persen pelapis.
  • 3 persen paduan baja.
  • 2 persen pengecoran.
  • 2 persen lainnya.


Harga nikel global di seluruh dunia sudah turun kurang lebih 30 persen dalam 12 bulan terakhir, dan diprediksi tahun depan ada surplus stok nikel di dunia yang terbesar sepanjang sejarah. Jadi dengan begitu gencarnya pembangunan smelter di indonesia, kita membanjiri dunia dengan nikel, harga jatuh terjadi kondisi oversupply.

Namun ada opsi lain, formulasi bahan baterai yang tidak menggunakan nikel. Salah satu produsen mobil listrik terbesar di dunia, Tesla, kini katanya sudah tidak lagi menggunakan nikel sebagai bahan baku baterai lithium yang digunakan, tapi LFP. Khususnya, di pabrik yang basis produksinya di China

LFP (“lithium ferrophosphate”) atau Lithium Iron Phosphate Battery (LiFePO4), adalah jenis baterai isi ulang, khususnya baterai lithium-ion, yang digunakan sebagai bahan katodanya. 

Baterai LFP memiliki kepadatan energi yang agak rendah daripada oksida kobalt lithium (LiCoO2) yang lebih umum ditemukan di elektronik konsumen. Namun, Baterai LFP menawarkan masa pakai yang lebih lama, kepadatan tenaga yang lebih baik (tingkat energi yang dapat ditarik darinya), harganya yang lebih rendah, lebih bersahabat dengan lingkungan dan lebih aman karena tidak beracun. 

LFP memiliki banyak peranan dalam penggunaan kendaraan dan daya cadangan.

Bahan katoda dalam baterai LFP tidak berbahaya, dan karenanya tidak menimbulkan bahaya kesehatan atau bahaya lingkungan yang negatif. Karena oksigen terikat erat ke molekul, tidak ada bahaya baterai meletus menjadi api seperti yang ada pada Lithium-Ion.


Data Badan Energi Internasional (IEA) menunjukkan penggunaan LFP untuk mobil listrik memang hanya 27% pada 2022. Namun, cakupan penggunaan ini naik signifikan dari 7% pada 2018.

Sedangkan penggunaan nikel untuk komponen baterai mobil listrik pada 2022 masih sebesar 66%. Namun, cakupan baterai berkandungan nikel tinggi turun dari 78% pada 2022. Ini menunjukkan pangsa pasar LFP terus meningkat sementara baterai nikel tinggi tergerus.

IEA mencatat sekitar 95% LFP diproduksi Cina. Pabrikan mobil listrik asal negara yang sama, BYD, mendominasi penggunaan LFP hingga 50% dari total permintaan baterai tersebut. Sementara, Tesla berkontribusi sebesar 15% dari total permintaan.

Meski Tesla masih menggunakan nikel, penggunaan LFP Tesla meningkat dari 20% dari total mobil yang diproduksi pada 2021 menjadi 30% pada 2022.


Baterai mobil listrik lithium ferro phosphate atau LFP berbahan baku besi dan litium yang tak lagi menggunakan nikel sebagai komponen utama. Pabrikan mobil listrik bahkan yang telah beredar di Indonesia seperti Wuling Air Ev dan Binguo EV, termasuk tiga modeal BYD Atto, Seal maupun Dolphin menggunakan teknologi baterai tersebut.

Mobil listrik milik Wuling seperti Air EV dan Binguo EV memilih penggunaan Lithium Ferro-Phosphate (LFP) untuk pasar Indonesia. Jenis ini disebut memiliki keunggulan dari jangka pakai panjang, hingga daya tahan terhadap suhu tinggi.

Wuling Binguo EV varian long range yang memiliki jarak tempuh 333 km memiliki kapasitas baterai 31,9 kWh, sedangkan versi premium range atau 410 km berkapasitas 37,9 kWh.

Sementara untuk Air EV standard range dan lite dengan jarak tempuh 200 km memiliki kapasitas baterai 17,3 kWh, sedangkan long range berkapasitas 26,7 kWh yang mampu melaju sampai 300 km.


Sumber :

https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20230712132850-85-972548/industri-baterai-kendaraan-listrik-dipacu-nikel-diburu.

https://www.viva.co.id/berita/bisnis/1679815-pernyataan-lengkap-thomas-lembong-soal-lfp-yang-buat-gibran-tanya-apakah-cak-imin-anti-nikel?page=3

https://ciptakaryaenergi.co.id/product/battery-lithium-lifepo4/

https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2024/01/21/cek-data-mana-baterai-mobil-listrik-lebih-populer-baterai-nikel-atau-lfp-yang-disinggung-gibran

https://m.bisnis.com/amp/read/20240122/46/1734230/baterai-lfp-tanpa-nikel-digunakan-wuling-byd-dan-tesla

Sunday, January 21, 2024

Greenflation

Greenflation atau inflasi hijau adalah jika harga komoditas naik karena transisi menuju ekonomi hijau. Dikutip dari situs resmi Bank Sentral Eropa (ECB), saat ini banyak perusahaan yang mengadaptasi proses produksinya dalam upaya mengurangi emisi karbon. 

Berdasarkan Blog Kamus Cambridge, greenflation diartikan sebagai "kenaikan harga akibat peralihan ke ekonomi hijau".

Sebagian besar teknologi ramah lingkungan memerlukan sejumlah besar logam dan mineral, seperti tembaga, litium, dan kobalt, terutama selama masa transisi. Misalnya saja kendaraan listrik yang menggunakan mineral enam kali lebih banyak dibandingkan kendaraan konvensional. Begitu juga pembangkit listrik tenaga angin lepas pantai membutuhkan jumlah tembaga tujuh kali lipat dibandingkan dengan pembangkit listrik tenaga gas.

Lalu bagaimana cara mengatasi greenflation?.

Greenflation merujuk pada kenaikan harga dan krisis tenaga kerja yang terjadi seiring dengan transisi ramah lingkungan. Kenaikan harga terjadi lantaran perusahaan mengeluarkan anggaran lebih untuk melakukan transisi energi mengingat biaya penggunaan energi hijau dianggap masih lebih mahal dibandingkan fosil.

Di Eropa, Greenflation memakan korban seperti yang terjadi pada gerakan Rompi Kuning (gilets jaunes) di Prancis. Gerakan rompi kuning mulai mencuat di Prancis pada Oktober 2018 sebelum akhirnya pecah menjadi aksi unjuk rasa pada 17 November 2018. Sejak itu, banyak yang melanjutkan aksi blokade massa yang menyebabkan kemacetan dan kelangkaan bahan bakar menjelang musim libur. Peserta terus menggelar aksi protes setiap Sabtu hingga kini.


Gerakan Rompi Kuning di Prancis sebenarnya fokus ke berbagai kebijakan pemerintah yang dianggap merugikan kelas pekerja. Pada 2018, Presiden Prancis Emmanuel Macron akhirnya berjanji untuk menaikkan upah dan meringankan pajak setelah demo Rompi Kuning.

Menurut euroactiv, pajak yang dimaksud adalah pajak karbon yang menaikkan harga BBM, sehingga memicu protes.


Dipicu oleh kenaikan harga bahan bakar, tingginya biaya hidup, dan klaim bahwa beban yang tidak proporsional dari reformasi pajak pemerintah akan menimpa para kelas pekerja dan menengah (terutama yang berada di daerah pedesaan dan periurban), para pengunjuk rasa menyerukan akhir dari perubahan tersebut dan pengunduran diri Presiden Prancis, Emmanuel Macron.

Gerakan ini telah banyak terlihat di kota-kota Prancis, tetapi daerah-daerah pedesaan telah mengalami mobilisasi luar biasa dalam unjuk rasa tersebut. Rompi kuning dipilih sebagai simbol karena semua pengendara mobil telah diwajibkan oleh hukum—sejak tahun 2008—untuk memiliki rompi bervisibilitas tinggi dalam kendaraan mereka ketika mengemudi. Akibatnya, rompi reflektif telah menjadi tersedia secara luas, murah, dan simbolik.


Sumber :

https://katadata.co.id/tiakomalasari/ekonomi-hijau/65ad2dfeaa68d/apa-itu-greenflation-yang-disebut-gibran-di-debat-cawapres

https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20240121201943-532-1052499/apa-itu-greenflation-yang-ditanyakan-gibran-ke-mahfud.

https://www.liputan6.com/global/read/5510483/gibran-kaitkan-inflasi-hijau-dengan-gerakan-rompi-kuning-apa-hubungannya?page=2

https://www.cnnindonesia.com/internasional/20240121233627-134-1052596/apa-itu-demo-rompi-kuning-yang-disinggung-gibran-saat-respons-mahfud.

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Gerakan_rompi_kuning

Thursday, January 11, 2024

Carbon Capture Technology & Converting CO2

Carbon Capture Technology & Converting CO2 into Something Useful

By George Vaniotis Ph.D. -August 25, 20220


Carbon Capture Technology

Carbon capture technology has been around for a while, with new advancements being developed to help combat climate change. Carbon capture and storage is a combination of technologies designed to prevent the release of CO2 generated through conventional power generation and industrial production processes and storing the CO2 in underground reservoirs. However, a recent discovery might allow that captured CO2 into valuable products while addressing climate change.


Existing Carbon Capture Technology

CO2 capture technology separates CO2 emissions from the environment and compresses them for storage in a suitable storage location. The compressed CO2 can be transported via pipeline or by traditional shipping methods. The captured CO2 can then be stored in abandoned oil and gas fields, deep saline formations, as well as no longer mineable coal seams. The primary reason CO2 is needed is to reduce emissions generated by industry and power generation, which would allow fossil fuel use to continue for the time being while still generating a significant decrease in CO2 emissions.

Several technologies are currently being employed in the capture, transport, and geological storage of CO2. Typically referred to as “capture technologies”, they can be grouped into three categories, depending on the industry targeted. Development of these technologies has primarily focused on the efficiency of removing CO2 from the other compounds usually emitted by the industrial process.


Post-Combustion: Post-combustion methods involve the capture of CO2 from gas streams produced after the combustion of fossil fuels or other carbon-based materials. The post-combustion separation process involves using solvents to separate carbon dioxide out of the gas and capture it. The thermodynamic driving force for this method is relatively low, typically less than 15%. Common applications for this technology include pulverized coal plants and natural gas combined cycle plants.

Pre-Combustion: This process removes CO2 from fossil fuels before combustion is completed. The fuel in the process is reacted with either steam, air, or oxygen and converted into a mix of carbon monoxide and hydrogen. The carbon monoxide is then converted to CO2 and separated from the hydrogen, which can be used to generate power and/or heat. This process performs slightly better in terms of energy efficiency than post-combustion capture; however, while the energy demand is lower, the capital investment is larger due to the more complex installation.

Oxyfuel Combustion: The oxyfuel combustion process burns fuel using pure oxygen, or a mixture of oxygen and recirculated gas. This produces a flue containing mainly water vapor and a high concentration of CO2 (80%). Since the nitrogen component of air is not heated, fuel consumption is reduced, and higher flame temperatures are possible. The gas is then cooled to condense the water vapor, which leaves an almost pure stream of CO2.


Public Perception & Environmental Impact

With any new technology, there is always some public concern, as well as regulatory uncertainty in its initial stages. The primary concern with carbon capture technology is the storage of CO2 and the potential environmental impact it may cause. While modifications to international legislative provisions have been made recently to accommodate for the offshore storage of CO2, many apprehensions remain concerning storage liability, monitoring responsibility, and the transport of CO2. While general frameworks have been adopted in certain parts of the world, discussions are still ongoing in others, like the United States. According to scientists, this is partly due to the mixed public opinion on the technology, believed to be tied to a general lack of awareness. In fact, in several communities where CO2 storage projects were planned, local stakeholders have shown concern about the risks, leading to protests.

While carbon capture technology and storage can potentially significantly reduce CO2 emissions generated by industrial installations, it still poses a risk to the environment from possible leaks in transportation pipelines or storage sites. CO2 leaking from a pipeline entails similar risks to natural gas leaks, though CO2 is not flammable. Moreover, while not poisonous, it can lead to asphyxiation if the concentration in the air becomes high enough. As such, several countries have established regulatory standards for the transport and permanent storage of CO2. Negative environmental impacts can be associated with the toxicological impact related to the use of solvents to chemically trap the CO2 and the energy penalty required to operate the capture unit.


New Discovery

Engineers at the University of Cincinnati have developed a promising new CO2 conversion procedure that may make the process more economically viable for industries1. The method comprises an electrochemical system that converts emissions from chemical and power plants into useful by-products that can be used to generate new materials. Utilizing a two-step cascade reaction, this new technique converts carbon dioxide first into carbon monoxide and then into ethylene. Ethylene is an important industrial organic chemical that has been called “the world’s most important chemical”1. It’s used in the production of a range of plastics from water bottles to PVC pipe and textiles, to manufacture ethylene oxide, polyethylene for plastics, alcohol, and even rubber found in tires and insulation.

The significance of using a two-stage conversion process is that ethylene selectivity can be increased while also increasing productivity in a process that can be applied to various reactions, given its simple electrode structure. In the future, this technique can be used to reduce carbon emissions while also generating a profit for the industry, eliminating one of the main drawbacks of current carbon capture processes. However, the current process, using copper, requires more energy than it produces in ethylene. While great strides have been made in improving the process, more work still needs to be done, though a superior catalyst than copper would likely solve the economic issue.


Sumber :

https://blog.labtag.com/carbon-capture-technology-converting-co2-into-something-useful/