Pages

Monday, July 31, 2023

Bahaya PFAS Pada Wajan Antilengket

Mengenal Bahaya Kimia PFAS yang Bisa Ditemukan Pada Wajan Antilengket

- Minggu, 2 Mei 2021 | 09:35 WIB

  

Wajan atau panci antilengket merupakan salah satu alat masak yang cukup sering digunakan untuk memasak atau menggoreng makanan yang mudah menempel. Alat masak antilengket digunakan banyak orang karena lebih mudah dibersihkan sehingga menghemat waktu dan tenaga.

Namun, beberapa jenis alat masak antilengket memiliki bahan kimia sintetis bernama Perfluorinated Alkylated Substances (PFAS) atau asam perfluorooktanoik yang bisa berbahaya bagi tubuh. Karena itu, dalam memilih alat masak antilengket, sebaiknya menggunakan alat masak yang tidak memiliki kandungan PFAS tinggi.

Dalam webinar bersama Royalstar, Praktisi Hai Fei Qing mengutip sebuah penelitian yang dilakukan Badan Perlindungan Lingkungan federal Amerika Serikat mempertimbangkan studi tentang bagaimana insinerator limbah kota menangani senyawa kimia tertentu yang terkait dengan kanker.

Studi ini melihat bagaimana insinerator limbah kota menangani PFAS, atau zat alkilasi perfluorinasi. PFAS dapat ditemukan dalam wajan antilengket, busa pemadam kebakaran, lilin, dan cat.

Menurut EPA, terdapat bukti bahwa paparan PFAS dapat menyebabkan hasil kesehatan yang merugikan pada manusia, seperti cacat reproduksi dan perkembangan, kerusakan hati dan ginjal, dan efek imunologi pada hewan laboratorium seperti dilaporkan My Central Jersey. Temuan yang paling konsisten dari penelitian manusia adalah peningkatan kadar kolesterol di antara populasi yang terpapar, serta kanker, efek pada berat badan lahir bayi, efek buruk pada sistem kekebalan dan efek hormon tiroid.

"Selektif lakukan pilihan produk alat masak antilengket yang lebih aman dan tidak memiliki bahan kimia berbahaya yang bisa mengontaminasikan racun pada makanan," katanya secara daring baru-baru ini.

Misalnya, kata dia, alat masak yang terbuat dari batu mineral maifan akan menyerap kuat ion logam berat dan racun di dalam air, serta mengurangi konsentrasi dan menghambat kecepatan reproduksi bakteri. Jadi, selain bebas dari bahan kimia PFAS yang berbahaya, batu maifan justru juga meningkatkan efek pada kesehatan.

"Dengan begitu, seseorang akan semakin bersemangat memasak sehingga memasak menjadi kegiatan yang lebih menyenangkan," katanya.


Sumber :

https://www.jawapos.com/kesehatan/01323496/mengenal-bahaya-kimia-pfas-yang-bisa-ditemukan-pada-wajan-antilengket

What you need to know about PFAS and PFAS analysis

What are PFAS?

More than 4730 compounds(1) belong to the group of PFAS (which stands for per- and polyfluoroalkyl substances) that have been produced since the 1940s. Since these compounds do not originate from nature, the global pollution is the result of human activity. All PFAS are of anthropogenic origin. PFAS are "forever chemicals", chemicals that are very persistent in the environment and in the human body.


Where are PFAS used?

They are commonly used because of their non-sticky and tensid-like properties for various purposes:

  • Textiles, textile coating, e.g., seat covers, carpets, outdoor clothing
  • Fire extinguisher foams
  • Food packaging, e.g., pizza cartons, paper cups
  • Paper finishing
  • Fibre coating
  • Cookware
  • Building material, e.g., water resistant lacquer
  • Further consumer products, such as: furniture, polishing and cleaning agents and creams


Regulatory directives and restrictions

Tested and validated methods for PFAS analysis

EPA Method 533: “Determination of Per- and Polyfluoroalkyl Substances in Drinking Water by Isotope Dilution Anion Exchange Solid Phase Extraction and Liquid Chromatography/Tandem Mass Spectrometry”. U.S. Environmental Protection Agency (EPA), Office of Research and Development, National Center for Environmental Assessment, Washington, DC, 2019.

EPA Method 537.1: "Determination of Selected Per- and Polyflourinated Alkyl Substances in Drinking Water by Solid Phase Extraction and Liquid Chromatography/Tandem Mass Spectrometry (LC/MS/MS)". U.S. Environmental Protection Agency, Washington, DC, 2018/2020

DIN 38407-42: German standard methods for the examination of water, waste water and sludge - Jointly determinable substances (group F) Part 42: Determination of selected polyfluorinated compounds (PFC) in water - Method using high performance liquid chromatography and mass spectrometric detection (HPLC/MS-MS) after solid-liquid extraction (F 42), 2011–03.

FDA Method C-010.02: Determination of 16 Per and Polyfluoroalkyl Substances (PFAS) in Processed Food using Liquid Chromatography-Tandem Mass Spectrometry (LC-MS/MS), 2021 

 

PFAS in water

This application note shows the reliable and successful determination of per- and polyfluoroalkyl substances (PFAS) from drinking water with an optimized SPE method. By using CHROMABOND PFAS it is possible to achieve high recovery rates for PFAS from drinking water with good reproducibility. By the combination of different SPE sorbents in a multi-layer column it is possible to use various interaction types like ionic, hydrophobic, hydrogen bonds and dipole-dipole for the enrichment of a broad spectrum of PFAS. In this way, a SPE method could be developed with the strength of several directives EPA 537.1, EPA 533 and DIN 38407‑42.


PFAS from textiles

This application note describes the determination of per- and polyfluoroalkyl substances (PFAS) from contaminated clothing. It demonstrates the extraction of PFAS from clothing samples using CHROMABOND PFAS column, a special SPE combination phase. The eluates are finally analyzed by HPLC-MS/MS.


PFAS in contaminated soil, sediments

This application note describes the determination of per- and polyfluoroalkyl substances (PFAS) from contaminated soils. It demonstrates the extraction of PFAS from soil samples using CHROMABOND PFAS column, a special SPE combination phase, for the methodology described in DIN 38407‑42. The eluates are finally analyzed by HPLC-MS/MS.


Major global regions that have implemented PFAS monitoring regulations. Other regions are expected to establish their own regulations, too.

Per- and polyfluoroalkyl substances (PFAS) have been manufactured for more than 80 years, but health effects were neglected for a long time. In September 2020, the European Food Safety Authority (EFSA) published a new health risk assessment related to the presence of PFAS in food(3). This is the first EFSA expert opinion in which, in addition to PFOA and PFOS, other PFAS were also included in the exposure assessment and health risk assessment.

PFAS are emitted into the environment by different pathways. For example, exhaust air from industrial sources can contain PFAS and thus are dispersed into nearby ground and water bodies. Rain and snow, for example, can eventually carry them from the air into the soil and surface waters. Particle accumulation can even cause them to travel long distances through the air. PFAS are therefore also found far from industrial production sites and human living areas, such as in sediments from the Bering Sea to the Arctic(4/5). Through volatilization from products (evaporation from carpets or home textiles treated with soil-repellent agents) or from waterproofing sprays, indoor air can also be contaminated.

Soils can also be directly contaminated, for example by firefighting foams. With the uptake of PFAS from contaminated soils and waters in vegetation and their accumulation in fish, these substances enter the human food chain. Consequently, humans absorb PFASs from the environment through food, water or air.

These "forever chemicals" also find their way into wastewater treatment facilities from household sources. They then enter surface waters via treated wastewater or remain in sewage sludge. The sewage sludge, in turn, can be used as fertilizer in agriculture, and then over time these chemicals eventually leach into the groundwater. Once there, some of the precursor compounds are transformed into the persistent PFAS.


Sumber :

https://www.mn-net.com/pfas

Bahaya PFAS Jika Masuk ke Tubuh Manusia

Oleh Adi Permana

Kamis, 26 - Agustus - 2021, 17:08:25

Program Studi Magister Teknik Air Tanah Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian (FITB) Institut Teknologi Bandung (ITB) berkolaborasi dengan Jacobs Engineering mengadakan gelar wicara secara daring mengenai bahan kimia PFAS dalam kehidupan manusia pada Sabtu (14/8/2021). Lingkupan gelar wicara ini menjangkau asal keberadaan PFAS hingga penanganan yang dapat dilakukan untuk menekan efek kimianya kepada manusia.

Gelar wicara dibuka oleh Dosen Magister Teknik Air Tanah ITB Dr. Dasapta Erwin Irawan, S.T., M.T. Gelar wicara kali ini dipimpin oleh alumnus Magister Teknik Air Tanah ITB Anggita Agustin dengan pembicara dari pihak Jacobs Engineering, Zhen Wen Tang.

PFAS sendiri merupakan singkatan dari per- and polyfluoroalkyl substances, sebuah substansi kimia oleophobic (antiminyak) dan hydrophobic (antiair). Karena sifatnya, substansi ini banyak dimanfaatkan dalam industri elektronik, otomotif, hingga kesehatan. PFAS bahkan banyak ditemukan di kehidupan sehari-hari. Salah satunya pada teflon.

Jika memasuki manusia dan hewan, PFAS dapat menimbulkan beberapa gejala efek samping, di antaranya gangguan hormon tiroid dan kanker. Tang juga menjelaskan dalam presentasinya mengenai pergerakan PFAS.

“Ia (PFAS) bersifat mobile, yang berarti ia bisa bergerak, ia bisa bergerak di dalam air,” ujar Tang dalam bahasa Inggris.

Kemampuan PFAS melewati senyawa krusial dalam hidup manusia membuatnya lebih dekat dengan kita. Senyawa ini sangat mudah larut dan tidak mudah menguap, sehingga memiliki mobilitas yang sangat mudah dan disebut forever chemical. PFAS utamanya berpindah bersama air tanah yang dapat muncul ke permukaan melalui kolam atau danau serta masuk ke saluran air keran. Beberapa negara memanfaatkan air keran untuk diminum, menambah resiko masuknya senyawa ke dalam tubuh manusia.

Negara-negara kawasan Asia Tenggara sendiri telah menemukan kasus kontaminasi PFAS yang bervariasi. Thailand telah mendeteksi kasus pada air minum, air keran, air permukaan, dan air tanah. Indonesia telah menemukan kasus kontaminasi pada air limbah dan pesisir pantai. Salah satu literatur oleh Brigden et al mencatat keberadaan PFAS pada air limbah tekstil di Kota Bandung.

Sejak penciptaanya pada 1940-an, sudah banyak regulasi yang mengatur peredaran PFAS untuk kepentingan kesehatan, termasuk yang diterbitkan pemerintah Indonesia. Kementerian Pertanian telah melarang penggunaan salah satu jenis PFAS, yaitu PFOS dalam pestisida. Regulasi mengenai konsentrasi PFOS dalam produksi tekstil juga telah diterbitkan Kementerian Perindustrian.

Penanganan untuk mengendalikan keberadaan PFAS telah banyak dilakukan. Metode filtrasi membran dilakukan secara konvensional termasuk osmosis terbalik menggunakan membran semipermeabel yang menyaring ion, termasuk PFAS. Sekarang ini juga sedang dikembangkan metode Thermal Desorption yang memanfaatkan kalor tinggi untuk menguapkan kontaminan.

Pemaparan diakhiri dengan sesi pertanyaan. Salah satunya adalah pertanyaan mengenai metode pendeteksian kontaminasi PFAS. “Tidak ada cara mendeteksi (kontaminasi PFAS) dengan mata telanjang. Satu-satunya cara menemukan PFAS di air tanah adalah dengan membawa sampelnya ke laboratorium untuk diuji. Itulah sebabnya minum langsung dari air tanah berisiko tinggi,” jawab Tang.


Sumber :

https://www.itb.ac.id/berita/bahaya-pfas-jika-masuk-ke-tubuh-manusia/58095

Sunday, July 30, 2023

Yuk, Kenali Mikroplastik Pada Produk Kecantikan!

08 Jul 2022

Sejak tahun 2013 UNEP telah memulai kampanye melawan penggunaan microbeads dan pada tahun 2015 United States melalui Presiden Obama melarang penggunaannya yang mejadi ancaman untuk lingkungan dan biota laut. Negara lainnya, United Kingdom pada tahun 2016 juga ikut melarang penggunaan bahan plastik ini. Yuk, kita bahas tentang penggunaan mikroplastik dan mengapa jadi topik hangat yang perlu kita pahami?

Pada artikel ini saya ingin sharing awareness tentang mikroplastik agar lebih mindful dalam memilih produk kecantikan yang mengandung partikel tersebut. Tujuannya apa? Agar penggunaan produk kecantikan tidak melulu disalahartikan sebagai kegiatan yang nampak semu aka “surface semata” yang hanya terlihat dari luar, tapi punya nilai yang bermanfaat untuk lingkungan dan masa depan anak cucu kita.


Apa itu Mikroplastik?
Mikroplastik adalah partikel plastik yang berukuran kurang dari 0.2 inci atau 5mm yang berasal dari pabrikan buatan manusia dengan ukuran mikro atau pecahan dari plastik yang tadinya solid dan berukuran besar seperti botol plastik, plastik belanja, dan botol deterjen. Contoh mikroplastik pada produk skincare yaitu butiran kecil (microbeads) pada produk pembersih wajah, face scrub, odol. Namun, selain dalam bentuk microbeads juga ada yang digunakan untuk tekstur pada produk lotion, shampoo, dan personal care lainnya. Bahkan, mikroplastik pada makeup juga sering ditemui pada partikel shimmering lipstick, blurring primer, dan glittery eyeshadow .


Mikroplastik Skincare Female Daily

Plastik merupakan komponen yang nggak mahal harganya, dan telah digunakan untuk membantu aspek-aspek kehidupan manusia namun berdampak buruk untuk lingkungan dan biota laut. Sudah tahu kan, kalau plastik nggak bisa terurai secara alami lewat mikroba dan memakan waktu sampai ratusan tahun, yep 500 – 1000 tahun. Apabila terurai menjadi mikroplastik dan menumpuk di bawah laut hasilnya dapat merusak ekosistem terumbu karang, mencemari lautan bahkan bisa termakan oleh ikan. Unfortunately, ikan merupakan elemen dalam rantai makanan manusia, so basically we eat microplastic. Oops! 


Mikroplastik Ingredients
Berikut ini list mikroplastik yang sering dijumpai sebagai komponen tambahan pada produk kecantikan yang digunakan sebagai viscocity control atau pembentuk tekstur, blurring effect, dan lain sebagainya:

Polyethylene(PE) – sering juga dijumpai di label kemasan Polyethylene Glycol (PEG), Polypropylene(PP) – Polypropylene Glycol (PPG),  Polymethyl methacrylate(PMMA), Nylon (PA), Polyurethane, Acrylates Copolymer.

Nah, nggak terbatas pada komponen ini saja lho kalau dipelajari sebenarnya lebih dari 500 ingredients mikroplastik yang bisa saja terdapat pada produk kecantikan di meja rias kita. Data ini dilansir dari Beat The Microbead yaitu organisasi yang disponsori oleh United Nations Environment Programme (UNEP) bekerjasama dengan NGO di seluruh dunia untuk meneliti sample penemuan mikroplastik.


Ternyata Skincare Saya Mengandung Mikroplastik
Kalau keadaannya seperti ini harus bagaimana? Jawabannya kembali ke diri sendiri. Nggak ada paksaan untuk tiba-tiba membuang produk yang dibeli dari hasil kerja keras (bahkan ada yang sampai harus nabung dulu!). Namun, awareness ini penting nggak hanya untuk beauty enthusiast, tapi juga millenials company yang kaya akan gagasan baru dan dapat membawa manfaat untuk skala besar perkembangan industri kecantikan di Indonesia agar berkontribusi lebih lagi kepada lingkungan.

Jujur, topik ini cukup kompleks karena berbagai studinya juga masih berlangsung sampai saat ini. Dibutuhkan waktu untuk jadi 100% applicable dalam kehidupan sehari-hari tapi saya terpanggil untuk memulai dengan langkah kecil, dengan cara menyebarkan awareness dengan menulis  artikel ini dan menerapkan eco-friendly beauty di produk kecantikan yang saya gunakan.


Sumber :
https://editorial.femaledaily.com/blog/2022/07/08/yuk-kenali-mikroplastik-pada-produk-kecantikan

Riset: Paparan BPA pada Plastik Bisa Sebabkan Autis

14/04/2023

BPA dalam kemasan plastik, efek buruk BPA dalam kemasan plastik untuk kesehatan.

Dalam sebuah riset terbaru, dikemukakan bahwa senyawa Bisphenol A (BPA) berkontribusi meningkatkan jumlah anak autis di Indonesia. Hal ini disampaikan Dr Imaculata, pakar pendidikan anak autis dan pendiri sekolah Imaculata Autism Boarding School dalam siaran pers, Jumat (14/4/2023). 

“Penggunaan kemasan plastik yang mengandung bisphenol A secara terus menerus menjadi salah satu sebab. Lihat saja perilaku kita sehari-hari, hampir tak pernah lepas dari plastik yang mengandung BPA. Makan, minum, mainan semua menggunakan plastik yang mengandung BPA," kata Dr Imaculata. 

Menurut Dr Imaculata, jumlah penyandang autisme meningkat terus di Indonesia, dengan tambahan 500 anak pengidap autis tiap tahun. Menurut data terakhir pada 2021, jumlah penderita anak Autisme di Indonesia naik drastis hingga mencapai sekitar 2,4 juta. 

Dr Imacula mengamati kenaikan jumlah siswa yang mengidap autis ini di sekolahnya. Jumlah siswa yang mengalami autis terus meningkat sedikitnya ada 600 anak autis tahun 2021, yang masuk daftar waiting list untuk bisa masuk sekolah tersebut. 

Pada 2000, tercatat perbandingan anak autis di Indonesia adalah 1:500. Artinya, setiap 500 anak terdapat satu anak penyandang autisme. Pada tahun 2004, Kementerian Kesehatan mencatat jumlah anak penyandang autis naik jadi 475.000, dan pada 2006 jumlah anak penyandang autis di Indonesia adalah 1:150, artinya setiap 150 anak terdapat satu anak autis. 

“Ini berarti naik 300 persen hanya dalam tempo 6 tahun. Jika mengacu pada jumlah anak Indonesia pada 2012 adalah 52 juta, maka jumlah anak autis pada 2012 sebanyak 532.200 anak. Jika pertambahan anak autis tiap tahun sebesar 53.220 anak, dan tiap hari ada penyandang autis sebanyak 147 anak, maka dalam 10 tahun sedikitnya sudah mencapai angka 529.200. Wajar jika pada 2021 saja diperkirakan jumlahnya sudah sebanyak 2,4 juta,” kata Dr Imacula. 

Sementara itu, studi yang ditulis Jinan Zeidan dari McGill University Montreal dan tim di jurnal Autism Research pada awal Maret 2022 menemukan bahwa prevalensi global autisme telah meningkat menjadi 1 dari 100 anak. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga mengungkapkan, dalam publikasinya pada akhir Maret 2023 bahwa prevalensi autisme 1:100 anak rata-rata terjadi secara global. 

Menurut Dr Imacula, Indonesia memang minim dan tertinggal jauh dalam riset yang fokus mengaitkan antara senyawa BPA dan penyakit autisme pada anak, tapi riset sejenis di dunia internasional bukanlah hal baru. Pada 2021, saja tercatat ada 5 riset tentang pengaruh BPA dan gangguan autisme pada anak. 

Salah satunya adalah studi dari Universitas Chulalongkorn, Universitas Tohoku, dan Universitas George Washington dan dipublikasikan pada 2021 di jurnal Scientific Reports dengan judul “Identification of sex-specific autism candidate genes responsible for the effects of Bisphenol A exposure in the brain”. 

“Banyak penelitian menunjukkan bahwa BPA dapat merusak fungsi otak, dan hal ini terkait dengan terganggunya fungsi otak pada gangguan spektrum autisme (ASD). Para ilmuwan percaya bahwa BPA mungkin menjadi salah satu faktor risiko lingkungan utama untuk ASD,” kata Asisten Profesor Dr. Tewarit Sarachana, kepala unit penelitian System Neuroscience of Autism and Psychiatric Disorder (SYNAPS) di Universitas Chulalongkorn, Thailand. 

Kajian dari Development of Male and Female Children at 36 Months oleh Dr Bruce Lanphear dari Simon Fraser University, Vancouver, British Columbia menyebut, anak-anak yang dilahirkan dari wanita dengan kadar BPA lebih tinggi cenderung memiliki risiko autisme lebih tinggi. 

"Kami menemukan bahwa konsumsi air kemasan botol oleh ibu hamil, yang merupakan salah satu sumber potensial paparan BPA, terkait dengan peningkatan risiko autisme pada keturunan,” mengutip riset tersebut.


https://money.kompas.com/read/2023/04/14/140000726/riset--paparan-bpa-pada-plastik-bisa-sebabkan-autis?page=all#page2.

Bahaya BPA dalam Kemasan Plastik Bisa Picu Kanker

28/04/2023

Banyak dampak buruk BPA untuk kesehatan, mulai dari gangguan reproduksi hingga meningkatkan risiko kanker.

Paparan senyawa kimia berbahaya dari kemasan plastik polikarbonat yang mengandung Bisphenol A (BPA) berisiko memicu kanker. Hal ini tertuang dalam penelitian yang dipublikasikan di Jurnal Environmental Research, dari Zhejiang University, China. 

Dalam riset tersebut, paparan BPA berkaitan dengan peningkatan risiko kanker payudara pada wanita. Sementara itu, paparan BPA dalam jangka panjang dan akumulatif mungkin menjadi periode yang lebih kritis untuk perkembangan kanker payudara. 

“Secara keseluruhan, meta-analisis kami menunjukkan bahwa paparan BPA secara signifikan terkait dengan peningkatan risiko kanker payudara pada perempuan. Ini lebih signifikan pada perempuan pasca-menopause," ungkap paparan tim Zhejiang di jurnal tersebut. 

Guru besar Departemen Teknik Kimia Universitas Diponegoro, Prof. Dr. Andri Cahyo Kumoro menjelaskan, kontaminasi senyawa BPA itu bisa terjadi apabila ada pemanasan dan gesekan. Dia bilang, terjadinya migrasi BPA dari kemasan ke dalam air paling banyak terjadi di kota besar. 

“Contohnya galon bekas pakai yang frekuensi peredarannya di kota-kota besar jauh lebih tinggi dibanding daerah di luar perkotaan. Di kota besar siklusnya lebih cepat,” kata Andri. 

“Di depo-depo isi ulang, saya melihat di beberapa daerah, pembersihan galon polikarbonat dilakukan secara tradisional. Yang penting cepat, harusnya menggunakan sikat yang lembut sehingga kemungkinan kecil terjadinya pelecutan (migrasi) BPA,” lanjut dia. 

Menurutnya, dalam kategori plastik, plastik polikarbonat yang mengandung BPA dikenali dengan nomor kode plastik “7” yang secara umum dikategorikan berisiko. Sayangnya terdapat banyak masyarakat tidak paham kode-kode dalam kemasan plastik. 

Untuk itu, ia mengimbau agar kemasan-kemasan yang mengandung BPA, dapat lebih mudah dipahami masyarakat melalui pelabelan. Hal ini penting untuk mencegak paparan BPA kepada bayi, balita dan janin pada ibu hamil. 

Penelitian sejenis yang dipublikasikan di jurnal American Association for Cancer Research (AACR), menunjukkan paparan BPA dapat memicu sel kanker payudara. Data Globocan pada 2020, memaparkan jumlah kasus baru kanker payudara mencapai 68.858 kasus (16,6 persen) dari total 396.914 kasus baru kanker di Indonesia.


Sumber :

https://money.kompas.com/read/2023/04/28/133000526/bahaya-bpa-dalam-kemasan-plastik-bisa-picu-kanker.

Bisphenol A (BPA)

Bisphenol A (BPA) is a chemical produced in large quantities for use primarily in the production of polycarbonate plastics. It is found in various products including shatterproof windows, eyewear, water bottles, and epoxy resins that coat some metal food cans, bottle tops, and water supply pipes.


How does BPA get into the body?

The primary source of exposure to BPA for most people is through the diet. While air, dust, and water are other possible sources of exposure, BPA in food and beverages accounts for the majority of daily human exposure.

Bisphenol A can leach into food from the protective internal epoxy resin coatings of canned foods and from consumer products such as polycarbonate tableware, food storage containers, water bottles, and baby bottles. The degree to which BPA leaches from polycarbonate bottles into liquid may depend more on the temperature of the liquid or bottle, than the age of the container. BPA can also be found in breast milk.


Why are people concerned about BPA?

One reason people may be concerned about BPA is because human exposure to BPA is widespread. The 2003-2004 National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES III) conducted by the Centers for Disease Control and Prevention (CDC) found detectable levels of BPA in 93% of 2517 urine samples from people six years and older. The CDC NHANES data are considered representative of exposures in the United States. Another reason for concern, especially for parents, may be because some animal studies report effects in fetuses and newborns exposed to BPA.


If I am concerned, what can I do to prevent exposure to BPA?

Some animal studies suggest that infants and children may be the most vulnerable to the effects of BPA. Parents and caregivers can make the personal choice to reduce exposures of their infants and children to BPA:

  • Don’t microwave polycarbonate plastic food containers. Polycarbonate is strong and durable, but over time it may break down from over use at high temperatures.
  • Plastic containers have recycle codes on the bottom. Some, but not all, plastics that are marked with recycle codes 3 or 7 may be made with BPA.
  • Reduce your use of canned foods.
  • When possible, opt for glass, porcelain or stainless steel containers, particularly for hot food or liquids.
  • Use baby bottles that are BPA free.


What Is NIEHS Doing?

NIEHS Research Efforts

CLARITY-BPA Program - The Consortium Linking Academic and Regulatory Insights on BPA Toxicity (CLARITY-BPA) program was developed to study the full range of potential health effects from exposure to BPA. Researchers from the U.S. Food and Drug Administration conducted the core guideline-compliant studies, and 14 university-based researchers conducted separate studies supported by grants from NIEHS. Their findings were released in a 2021 report: Consortium Linking Academic and Regulatory Insights on Bisphenol A Toxicity (CLARITY-BPA): A Compendium of Published Findings.

BPA Initiatives - The National Institute of Environmental Health Sciences (NIEHS) and National Toxicology Program (NTP) have developed an integrated, multipronged, consortium-based approach to optimize BPA-focused research investments to more effectively address data gaps and inform decision making.


Sumber :

https://www.niehs.nih.gov/health/topics/agents/sya-bpa/index.cfm#:~:text=Bisphenol%20A%20(BPA)%20is%20a,tops%2C%20and%20water%20supply%20pipes

Just what is BPA found in some plastic bottles?

September 26, 2014

Why drinking water from plastic bottles stored in the heat of your car is bad for your health.

We’ve all done it, bought a bottle of water whilst we’re out and about, only to come back to the car and discard the bottle on the passenger seat, to then pick the drink up days later and finish what was left. Recent studies show many plastic bottles contain levels of BPA albeit low levels. Together with the warm temperatures reached in closed cars may actually cause the release bisphenol A (BPA) in to the water. So just what exactly is BPA? BPA is the main component of polycarbonate, the hard plastic, high performance clear plastic, used sometimes in drinks bottles and other food storage containers. While BPA is not a major concern at the low levels found in some plastic bottles, many officials are saying the chemical can cause negative effects on children’s health.


Rest assured our plastic juice bottles do not contain BPA.

With the above in mind our customers can be extra reassured none of our juice bottles contain BPA and just to reassure our customers further, something to keep in mind when choosing the right bottle for your flavoured waters and beverages. Check the recycling symbol on the bottom of the container. If the bottle is a triangle 2 HDPE (High Density Polyethylene) or 4 LDPE (Low Density Polyethylene) or 5 PP (Polypropylene) your bottle is fine. Also safe to use, our most popular range of juice bottles, our PET (Polyethylene terephthalate) clear plastic bottles. You could say most commonly associated with the storage of water and flavoured waters these are usually triangle 1 although free from BPA we still recommend bottles are for one time use, and should not be reused.


Sumber :

https://www.ampulla.co.uk/warning-storing-warm-water-plastic-bottles/?utm_term=&utm_campaign=Equal+Bids+-+PMAX&utm_source=adwords&utm_medium=ppc&hsa_acc=3688757882&hsa_cam=19712434025&hsa_grp=&hsa_ad=&hsa_src=x&hsa_tgt=&hsa_kw=&hsa_mt=&hsa_net=adwords&hsa_ver=3&gclid=CjwKCAjwlJimBhAsEiwA1hrp5ovvAm65urv7-lMaIYZDmYqR50EmHaZwzYUkO9rUOYZ0_4_SDSHy8hoC-LIQAvD_BwE

This Happens to Your Body When You Eat Instant Noodles

Instant noodles are one of the kids’ favorite foods and your rescue meal plan when there’s nothing available that you can cook in no time. However, do you know what happens when you consume instant noodles?

As per a study conducted by Dr. Braden Kuo, Gastroenterologist, Massachusetts General Hospital, using pill cameras in subjects who were asked to consume instant noodles and fresh homemade ramen noodles every other day during the study; Dr. Kuo found that while the homemade ramen noodles got instantly digested in 1-2 hours, the so-called instant noodles did not break up, were intact and undigested in the stomach even hours after consumption.

What was more surprising in the study was how the stomach tried to move back and forth to digest or break down instant noodles. The culprit behind this was cited as the preservatives present in Instant noodles.

As per Dr. Braden Kuo, “At two and four hours, the particular size of the ramen noodle was much larger or formed than the homemade ramen noodle at each of those time points, suggesting ramen noodles were difficult to break down into an infinite particulate matter during the process of digestion.”

According to FDA, the main preservative in Instant noodles is Tertiary-butyl hydroquinone (TBHQ) that can cause sickness, weaken organs if eaten in routine over a long period of time and increase the risk of tumors and cancers. TBHQ is used in perfumes, too.

Apart from TBHQ, Propylene Glycol is used in Instant noodles to maintain their texture even when cooked in hot water. The same product is used in tobacco products.

Most of the Instant or cup noodles come in packages that contain Bisphenol A (BPA) that enters your body when these instant noodles are cooked in the cup itself by adding super hot water. BPA can destroy your metabolism.

Apart from these synthetic chemicals, the Sodium, Corn Syrup, Palm Oil and Monosodium Glutamate (MSG) are other ingredients that come with their own side-effects.

The above reasons are enough to keep your kitchen slabs uncluttered from Instant Noodles. Do not feed ill-health to your loved ones. If you have some noodle lovers at your home, go for fresh homemade ramen noodles instead of the Instant variety!

Here’s a viral video of Dr. Braden Kuo’s study on the digestion process of Instant Noodles vs Homemade Ramen Noodles:



Sumber :

https://www.news18.com/news/indiwo/food-indiwo-this-happens-to-your-body-when-you-eat-instant-noodles-1597503.html

Darimana kah Mikroplastik di laut berasal?

Ternyata plastik yang mengendap di laut tidak hanya yang berukuran besar besar saja. Ukuran mikro bahkan nano pun juga menghiasi lautan dunia.

Mikroplastik merupkan plastik yang berukuran sangat kecil berkisar 0,33 - 4,75 mm. Dan nanoplastik lebih kecil dari ukuran tersebut.

.

Mikroplastik ini ternyata banyak dihasilkan dari benda-benda yang tidak kita sadari. Menurut Eunomia, mikroplastik yang ada di laut dunia dari benda berikut ini :

1. Debu ban kendaraan, yang bergesekan dengan aspal. Jumlahnya mencapai 270 ribu ton dan merupakan penyumbang mikroplastik terbesar.

2. Cacahan plastik, dari pastik-plastik yang terbuang ke lautan. Jumlahnya juga sangat besar 230 ribu ton.

3. Tekstil, yang berasal dari serat buatan yang berasal dari cucian pakaian maupun yang terhempas ke lingkungan. Berjumlah 190 ribu ton.

4. Cat bangunan, berasal dari bangunan di daratan maupun di laut yang terkelupas. 130 ribu ton.

5. Cat jalan raya, yang mengelipas dan terhempas karena gesekan. 80 ribu ton

6. Kosmetik, yang menganduk microbeads. 35 ribu ton.

7. Cat kapal laut dan industri di laut, 16 ribu ton.

.

Tanpa kita sadari ternyata banyak aktivitas dan barang-barang kita yang menyumbangkan mikroplastik di lautan. Dimana jumlah total dunia mencapai 0,95 juta ton per tahunnya.

.

Kita sudah tahu pencemaran dari mikroplastik yang tentunya sangat berbahaya bila dikonsumsi langsung oleh manusia maupun oleh hewan laut yang akhirnya juga dikonsumsi oleh manusia.

.

Jadi sudah kah kita memiliki aksi nyata untuk mencegah timbulnya mikroplastik dan/atau menanggulanginya?

.

Yuk bareng-bareng sama GreenPro.id untuk mencegah timbulnya mikroplastik dikemudian hari dengan nabung dan sedekah sampah. Bisa langsung daftar di GreenPro.id.


Sumber :

https://www.facebook.com/greenproidn/photos/a.138163917739198/175070414048548/?type=3

Bahaya Polusi Partikel Polistiren Plastik di Lingkungan Perairan

Plastik merupakan suatu makromolekul yang dibentuk melalui proses penggabungan beberapa  molekul sederhana (monomer) menjadi molekul besar (polimer) dengan unsur utamanya karbon dan  hidrogen. Makromolekul ini mudah dibentuk menjadi alat sesuai kebutuhan manusia, misalnya gelas, botol,  sedotan, kantong plastik, kresek, dan lain-lain. Namun ketika selesai pemakaiannya dan dibuang secara  sembarangan sebagai sampah plastik, keadaan ini akan menimbulkan masalah bagi kesehatan lingkungan.  

Sampah plastik merupakan bahan yang bersifat racun ketika dibuang di perairan (sungai, waduk,  laut, dll) akan mencemari badan air dan biota di dalamnya. Menurut ukurannya, sampah plastik dibedakan  menjadi partikel plastik yang potongan besar, makro, meso, dan mikro, yaitu berturut-turut 100, 20, 20-5,  dan <5 mm. Bahan plastik polistiren dengan ukuran yang besar banyak ditemukan di saluran pencernaan  ikan yang hidup di perairan tercemar. Keberadaan bahan plasti ini sangat mengganggu fungsi normal dari  saluran tersebut. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa sampah plastik yang memenuhi saluran  pencernaan dapat menghambat pemasukan dan pencernaan pakan serta menghambat penyerapan sari  makanan melalui epitel usus ikan. Oleh karena itu ikan menjadi kelaparan, jika terjadi pada waktu yang  lama dapat menurunkan fungsi sel dan jaringan yang berakhir pada kematian ikan.  

Partikel polistiren dapat terdegradasi dalam waktu lama di alam oleh sinar ultraviolet untuk  membentuk partikel yang lebih kecil disebut mikroplastik (ukuran 0,1 µm – 5 mm) dan nanoplastik (partikel <0,1 µm). Partikel-partikel ini secara langsung atau tidak langsung dapat diserap ke dalam tubuh melalui  insang dan saluran pencernaan setelah diserap melalui pembuluh darah kapiler dan peredaran darah ke  seluruh tubuh. Konsentrasi zat beracun meningkat mengikuti generasi spesies oksigen reaktif, yang  merusak sel dan jaringan, sehingga mengakibatkan dalam kematian sel. 

Partikel mikroplastik dan nanoplastik ini dapat ditemukan pada beberapa organ ikan yang hidup  di daerah tercemar, termasuk usus, hati, insang, dan otak. Pada tingkat seluler, zat beracun ini menyebabkan  stres oksidatif melalui oksidasi lipid, protein, dan molekul DNA di dalam sel. Ketidakseimbangan ini  menyebabkan inflamasi dan akhirnya kematian sel. Oksidatif stres pada sistem reproduksi menyebabkan  kemandulan pada ikan karena disfungsi organ reproduksi. Beberapa temuan telah menunjukkan bahwa  oksidatif stres karena zat beracun dalam sistem tubuh ikan mengurangi fungsi hormonal termasuk fungsi  poros hipotalamus-hipofisis-gonad. Keadaan ini mengakibatkan pertumbuhan terhambat dan  perkembangan sel yang buruk. Oleh karena itu, disfungsi hipotalamus karena zat beracun menyebabkan  penurunan sekresi gonadotropin-releasing hormon (GnRH). Pengurangan tingkat GnRH disertai dengan  penurunan sintesis steroid, sehingga mempengaruhi perkembangan sel gamet di organ reproduksinya. Stres oksidatif juga mempengaruhi struktur dan ukuran sel spermatogenik. Ini juga merusak tubulus seminiferus struktur dan menghambat proses spermatogenesis, sehingga mengganggu proses fertilisasi.  Berdasarkan hasil beberapa kajian, juga ditemukan bahwa partikel plastik juga dapat  meningkatkan respon inflamasi, bioakumulasi, dan transportasi polutan organik ke dalam tubuh. Bentuk  dan fungsi permukaan, ukuran, muatan permukaan, dan sifat hidrofobik partikel dapat memprediksikan  tingkat penyerapan partikel plastik. Partikel ini memiliki karakteristik tertentu yang memfasilitasi gerakan  melintasi sel hidup, seperti sel dendritik, ke dalam limfatik atau sistem peredaran darah. Saat memasuki  sistem, partikel plastik akan menumpuk di organ sekunder, mempengaruhi tubuh sel dan sistem kekebalan.  Selain itu partikel plastik yang masuk ke dalam saluran pencernaan akan menurunkan aktivitas enzimatik  mikroba usus, sehingga mengganggu proses pencernaan dan penyerapan nutrisi oleh sel epitel usus. Apabila  keadaan ini berlangsung dalam waktu yang lama berakibat pada kemunduran kesehatan dan kematian ikan. Dari beberapa penelitian juga ditemukan bahwa di alam, partikel mikroplastik ataupun  nanoplastik dapat mengikat bahan lain, termasuk bahan beracun seperti logam berat timbal, tembaga, dan  seng. Logam berat ini juga bahan beracun berasal dari limbah industri yang dibuang ke perairan. Dengan  demikian, perairan sungai atau laut menjadi tercemar akibat aktivitas manusia yang tidak terkendali. Melihat keadaan perairan yang seperti ini, ternyata masih banyak petambak ikan atau udang yang  menggunakan air sungai atau waduk sebagai media untuk budidaya atau pembesaran ikan atau udang. Hal  ini menimbulkan risiko bagi manusia yang konsumsinya. Selain mengganggu fungsi usus, keberadaan partikel ini juga menyebabkan stres oksidatif dan gangguan metabolisme lipid di hati, sehingga dapat  menurunkan kesehatan. Terdapat alternatif untuk mengurangi adanya bahan beracun khususnya dari bahan  partikel plastik yang masuk ke tubuh ikan, yaitu dengan menambahkan suplemen pada pakannya. Hasil  penelitian menunjukkan bahwa pakan suplemen yang mengandung probiotik, vitamin C, dan kombinasi  keduanya (probiotik dan vitamin C) dapat menurunkan efek beracun dari polusi partikel plastik. Hal ini  terjadi karena suplemen probiotik yang mengandung bakteri asam laktat dapat menyerap partikel plastik yang mengikat senyawa organik di saluran pencernaan, yang selanjutnya akan dikeluarkan dari tubuh  bersama dengan kotoran ikan. Probiotik bisa ditambahkan ke pakan yang diberikan kepada organisme  budidaya. Selain merendahkan partikel plastik, melengkapi dengan bakteri probiotik akan memberikan  manfaat yang ditingkatkan seperti: sebagai peningkatan pertumbuhan, perkembangan, dan ketahanan  terhadap penyakit inang budidaya. Selain itu, penambahan vitamin C sebagai suplemen makanan dapat  meningkatkan kesehatan reproduksi ikan. Vitamin C dengan sifatnya sebagai antioksidan berfungsi sebagai  buffer redoks yang dapat mereduksi dan menetralkan reaktif spesies oksigen yang dihasilkan oleh partikel  plastik.  

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa partikel plastik polistiren bersifat racun sehingga  menurunkan kesehatan ikan, namun dengan penambahan pakan suplemen yang mengandung probiotik,  vitamin C, dan kombinasi keduanya dapat memperbaiki kesehatan ikan yang tercemar polutan partikel  plastik. 


Sumber :

https://news.unair.ac.id/2022/03/08/bahaya-polusi-partikel-polistiren-plastik-di-lingkungan-perairan/?lang=id

Saturday, July 29, 2023

Pencemaran Air Kini Disebabkan Oleh Mikroplastik? Siapa Biang Keladinya?

Beberapa waktu belakangan ini, isu mengenai pencemaran air yang disebabkan oleh partikel mikroplastik telah membuka mata banyak orang tentang potensi bahaya yang mengincar biota laut dan manusia akibat pembuangan sampah plastik ke laut. Sebagian besar plastik yang dibuang tidak mengalami daur ulang dan dibuang ke lingkungan akan berakhir di laut hingga menjadi sumber polusi di lautan.

Pemakaian kemasan plastik dan bahan-bahan lain yang mengandung plastik telah memicu penumpukan sampah plastik di lautan. Meskipun bersifat persisten, plastic tetap dapat terdegradasi menjadi partikel yang lebih kecil. Sampah plastik banyak ditemukan mengapung di laut, dapat terdegradasi oleh sinar ultraviolet, panas, mikroba, dan abrasi fisik menjadi serpihan plastik.

Fragment dari plastik yang terdegradasi sering disebut dengan mikroplastik, yang memiliki ukuran partikel kurang dari 5mm. Mikroplastik dapat terakumulasi dalam jumlah yang tinggi pada air laut dan sedimen. Ukuran mikroplastik yang sangat kecil dan jumlahnya yang banyak di lautan membuat sifatnya ubiquitous dan bioavailability bagi organisme akuatik tinggi. Akibatnya mikroplastik dapat termakan oleh biota laut.

Selain terkait dengan lingkungan, potensi ancaman pada kesehatan manusia juga menjadi perhatian terutama karena ukurannya yang kecil, dan kurangnya teknologi yang tersedia untuk mendeteksi keberadaan mikroplastik di lingkungan. Beberapa penelitian menemukan kandungan mikroplastik pada sejumlah hewan yang dikonsumsi oleh manusia Hal ini menimbulkan kekhawatiran mengenai konsumsi plastik oleh manusia melalui konsumsi spesies laut yang terkontaminasi dengan mikroplastik sebagai makanan dan potensi efeknya pada kesehatan manusia.

Banyaknya sampah plastik di lautan Indonesia akan mengancam biota laut yang ada di dalamnya, tidak didukung dengan data tentang keberadaan mikroplastik pada seafood dari perairan Indonesia. Tingkat pencemaran laut di setiap daerah dapat berbeda-beda, termasuk cemaran mikroplastik yang berasal dari plastik yang terurai di lautan hingga berukuran mikron (1 – 5000 µm).

Namun, fakta mencengangkan diungkap melalui Penelitian Universitas Newcastle Inggris yang menyatakan pencemaran air yang disebabkan oleh mikroplastik tidak hanya terjadi akibat pembuangan sampah plastik ke laut, namun mesin cuci di rumah-rumah kita juga turut mengirim mikroplastik ke lautan. Setidaknya ada 800.000 mikroplastik yang dilepas tiap kali kita mencuci pakaian memakai mesin. Satu mesin cuci dengan volume penuh akan melepaskan 800.000 mikroplastik dan 1,4 juta unit serat halus dari pakaian berbahan nilon, poliester, dan akrilik. Tiga bahan utama pakaian itu kini paling banyak dijadikan bahan pakaian, terutama untuk pakaian luar ruangan, seperti pakaian olahraga karena cepat kering, ringan, dan mudah dicuci.

Industri tekstil memproduksi 40 juta ton baju sintetis setiap tahun. Naiknya tren berolahraga, berkembangnya kesadaran akan kesehatan, dan tingginya aktivitas di luar ruangan, membuat kebutuhan pakaian yang ringan dan menyerap keringat meningkat. Padahal, pakaian mikroplastik dari jenis ini gampang terlepas ketika dicuci. Dengan kamera berkecapatan tinggi, diketahui bahwa pelepasan mikroplastik dan serat halus tersebut terjadi ketika air menyiram pakaian dan mesin cuci memilinnya. Perpaduan air dan putaran mesin membuat mikroplastik terlepas dan lolos dari saringan mesin cuci lalu meluncur ke selokan, ke sungai, dan berakhir di lautan.

Dalam penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal Environmental Science and Technology pada September 2019 itu ditemukan bahwa mikroplastik makin banyak terlepas seiring volume pakaian yang dicuci. Jumlah mikroplastik makin banyak jika putaran drum mesin cuci semakin cepat. Maka selain menyarankan agar kita memakai kecepatan sedang ketika mencuci, ada baiknya juga kita untuk menghemat baju yang kita gunakan. Semakin sering kita membeli pakaian sintetis akan semakin banyak mikroplastik yang terbuang ke laut yang membahayakan lingkungan dan pada akhirnya membahayakan manusia.


Sumber :

https://environment-indonesia.com/pencemaran-air-kini-disebabkan-oleh-mikroplastik-siapa-biang-keladinya/

Sampah Plastik di Laut, Masalah yang serius!

Permasalahan sampah yang ada di laut dari hari ke hari semakin tak terbendung. Hal ini menimbulkan dampak kerusakan luar biasa pada kehidupan laut. Selain mengotori lautan, sampah juga termakan dan meracuni hewan-hewan laut.

Misalnya saja sampah plastik. Plastik adalah polimer organik sintetis. Karakter plastik yang ringan, kuat dan tahan lama membuat plastik banyak digunakan untuk pembuatan berbagai macam produk, terutama produk kemasan.

Kajian Universitas Georgia yang dirilis tahun 2016 menemukan lautan di Indonesia merupakan perairan kedua di dunia yang menyimpan sampah plastik terbanyak.


Puing-puing plastik di lautan terbuka

Pada seminar “One Day Seminar on Marine Tropical Diversity and Sustainability” dalam Winter School Program 2018, Kamis (25/1) di Ged B 101 FMIPA UI, Dr. rer. nat. Mufti Petala Patria, M.Sc., ahli kelautan Departemen Biologi FMIPA UI dalam presentasinya menjelaskan lebih dari 8 juta ton sampah plastik dibuang ke laut tiap tahunnya, sekitar 80% berasal dari aktivitas yang dilakukan di darat yakni Industri, saluran pembuangan, limbah yang tidak diproses dan pariwisata. Sedangkan 20% nya berasal dari kegiatan yang dilakukan di laut yakni perikanan, Transportasi laut, dan industri lepas pantai.

Dalam pemaparannya tersebut juga dijelaskan bahwa seiring dengan jumlah sampah yang terus membengkak di laut Indonesia bahkan di seluruh dunia, maka semakin terancam pula kehidupan hewan laut tersebut.

Sebagai contohnya adalah penyu yang kerap kali tersangkut kumpulan sampah bahkan memakan sampah plastik dan mikroplastik karena menganggap sampah tersebut adalah makanan, padahal penyu merupakan salah satu hewan laut yang paling dilindungi, tak hanya terjadi pada penyu, hal inipun terjadi pada burung laut dan singa laut.

Bahaya sampah yang mengandung zat-zat kimiawi pada hewan diantaranya adalah menimbulkan luka fisik di saluran usus, translokasi ke jaringan atau organ lain, penurunan berat badan yang signifikan, pengurangan aktivitas makan yang signifikan, dan cacat perkembangan.


Lalu, apa yang bisa kita lakukan?

Dr. rer. nat. Mufti Petala Patria, M.Sc menuturkan bahwa permasalah ini bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah ataupun institusi terkait, tapi masyarakat juga perlu berperan aktif dan turut berkontribusi. Misalnya saja berperilaku bijak dalam menggunakan produk berbahan dasar plastik bahkan sebisa mungkin menghindari penggunaan barang-barang yang berpotensi menjadi sampah, bukan hanya plastik, sehingga mengurangi produksi sampah plastik ataupun sejenisnya demi terciptanya lingkungan yang bersih dan sehat.

Jika permasalahan sampah plastik ini dibiarkan, menurut Dr. rer. nat. Mufti Petala Patria, M.Sc., akan berdampak pada sosial dan ekonomi masyarakat Indonesia, terutama yang tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil karena  mengakibatkan penurunan pendapatan negara dari sektor kelautan.

lebih lanjut, Dr. rer. nat. Mufti Petala Patria, M.Sc., menjelaskan bahwa upaya pengelolaan sampah menjadi produk yang bermanfaat juga sangat penting untuk ditingkatkan dengan didukung oleh teknologi yang berkembang saat ini, misalnya saja mengkonversikan sampah menjadi energi, selain itu kemasan bio-plastic berbahan dasar singkong maupun tanaman lainnya juga berpotensi dikembangkan. Namun yang paling penting adalah kesadaran tiap individu untuk dapat mengurangi polusi plastik.


Sumber :

https://www.sci.ui.ac.id/sampah-plastik-di-laut-masalah-yang-serius/

Dampak Plastik dan Mikroplastik dalam Tubuh Manusia

Bahaya Sampah Plastik bagi Kesehatan, Temuan Mikroplastik dalam Tubuh Manusia

Bahaya sampah plastik makin menghantui kehidupan manusia di bumi. Jumlahnya terus bertambah, menggunung dan ‘abadi’. Asosiasi Industri Plastik Indonesia (INAPLAS) dan Badan Pusat Statistik (BPS) mendata, jika sampah plastik di Indonesia mencapai 64 juta ton per tahun. Jika diumpamakan paus biru, jumlah sampah ini setara 370 ekor paus biru dengan rata-rata panjang 30 meter.

Tak heran jika ada ilmuwan yang memprediksi di tahun 2050 nanti, jumlah sampah di laut lebih banyak dibanding ikan. Data terbaru dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), lautan Indonesia sudah tercemar sampah plastik cukup parah. Di tahun 2020, ada sekitar 1772,7 gram sampah per meter persegi. Tak hanya di lautan, sampah plastik juga menghantui daratan juga kehidupan manusia.

Tanpa penanganan yang tepat, bahaya sampah plastik tidak hanya mempengaruhi lingkungan saja, tapi juga kesehatan manusia. Sebuah fakta mengejutkan ditemukan oleh peneliti dari ECOTON, bahwa mikroplastik ditemukan dalam feses manusia. Penemuan ini diabadikan dalam film dokumenter ciamik, Pulau Plastik. Terbaru, ahli ekotoksikologi dari Vrije University Amsterdam Belanda, Dick Vethaak, menyebut partikel mikroplastik ditemukan dalam darah manusia.

Melansir dari laman The Guardian (Microplastics Found in Human Blood for First Time, 4 Maret 2022), bahaya sampah plastik bagi kesehatan manusia ini masih dalam penelitian, terlebih setelah ditemukan mikroplastik dalam darah dan feses manusia.


Mikroplastik dalam Tubuh Manusia

Manusia bisa terpapar mikroplastik karena penggunaan plastik dalam keseharian yang sudah dianggap hal biasa. Bisa dilihat dari sekeliling kita, dari alat makan, elektronik, hingga sabun dan skincare, mengandung plastik. Melansir dari laman Plastic Health Coalition, menyebut jika bahaya sampah plastik bisa berpengaruh pada kesehatan manusia lewat tiga jalur, yakni lewat makanan, minuman, dan udara yang dihirup. Sebuah publikasi dari Environmental Science and Technology (Human Consumption of Microplastics, 2019), menyebut jika air kemasan menjadi salah satu sumber partikel plastik tertinggi yang dikonsumsi manusia. Rata-rata dalam satu botol minum plastik kemasan, mengandung 100 mikroplastik per liternya.

Kedua, bahan kimia tambahan dalam plastik yang dikaitkan dengan masalah kesehatan (kanker terkait hormone, infertilitas dan gangguan perkembangan saraf). Ketiga, mikroplastik bisa menarik mikroorganisme patogen yang berbahaya bagi tubuh manusia karena dapat menyebabkan infeksi. Bahaya sampah plastik bagi kesehatan manusia memang tidak bisa dilihat secara langsung dan membutuhkan waktu yang cukup panjang.


Temuan mikroplastik di feses manusia

Sebuah publikasi dari Indian J Occup Environ Med (Public Health Impact of Plastic, 2011) memberikan gambaran umum mengapa plastik bisa berbahaya bagi kesehatan manusia. Dalam publikasi itu disebutkan jika bahan berbahaya dalam plastik yang biasa digunakan sebagai bahan untuk membuat mainan anak-anak, menjadi salah satu pemicu masalah kesehatan. Menggigit plastik, seperti mainan penggigit (teether plastik), bisa menjadi jalan masuknya mikroplastik ke dalam tubuh. Mikroplastik tersebut dapat terbawa ke saluran pencernaan, bahkan bisa sampai ke rahim dan mempengaruhi perkembangan janin. Selain itu, paparan bahaya sampah plastik itu dapat menyebabkan kanker, cacat lahir, gangguan kekebalan tubuh, efek perkembangan dan reproduksi.


Solusi Mengurangi Paparan Mikroplastik

Seperti yang sudah diketahui, usia plastik bisa berkali lipat dari usia manusia. Plastik adalah salah satu penemuan tercanggih manusia, yang sayangnya sangat sulit diuraikan. Butuh waktu ratusan tahun bagi plastik untuk benar-benar terurai. Sebelum terurai, plastik ini akan terpotong-potong menjadi partikel kecil, atau biasa yang disebut sebagai mikroplastik. Bisa dibayangkan jika mikroplastik yang sulit terurai dan bisa bertahan ratusan tahun ini ada di dalam tubuh manusia. Keberadaan mereka bisa mengganggu kinerja organ tubuh, dan menjadi masalah kesehatan seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya.

Salah satu solusi dari bahaya sampah plastik bagi kesehatan manusia ini ialah dengan mengurangi interaksi dengan plastik. Terdengar sulit memang, mengingat kehidupan manusia kini sulit terlepas dari plastik. Sebagai individu, kita bisa memulainya dari mengurangi penggunaan barang-barang yang mengandung plastik dan menggantinya dengan barang yang lebih ramah lingkungan, juga untuk kesehatan. Sedangkan pada tingkat lingkungan masyarakat, kita bisa mengajak tetangga untuk mengurangi pemakaian plastik, bahkan dari yang kecil sekalipun.

Selain itu, solusi yang tak kalah penting untuk mengurangi bahaya sampah plastik ialah kebijakan pemerintah, peran pihak swasta dan juga masyarakat. Kebijakan yang ketat mengenai pemakaian plastik dan polimer-polimernya dalam sebuah produk, harus diterapkan untuk kepentingan konsumen dan lingkungan dalam jangka panjang. Selain itu, menyebaran informasi agar masyarakat lebih paham mengenai bahaya sampah plastik yang bisa mengintai kesehatan, juga harus diperluas. Diharapkan dengan makin masifnya penyebaran informasi terkait sampah plastik, dapat meningkatkan kesadaran masyarakat soal bagaimana pemakaian plastik dan penanganan sampah plastik yang benar.


Sumber :

https://waste4change.com/blog/bahaya-sampah-plastik-bagi-kesehatan-temuan-mikroplastik-dalam-tubuh-manusia/

Tahun 2040 Sampah Plastik akan Menumpuk 710 Juta Ton

Ahli: 710 Juta Ton Sampah Plastik Akan Menumpuk di Bumi 2040

Jumat, 31 Jul 2020 20:25 WIB

Sebuah penelitian memprediksi 710 juta ton plastik akan mencemari lingkungan pada 2040. Polusi plastik adalah masalah global. Plastik ditemukan di seluruh lautan, danau, sungai, tanah, sedimen, atmosfer, hingga biomassa hewan imbas pertumbuhan industri dan ekonomi yang mengabaikan limbah.

Dalam jurnal Science, para peneliti mengatakan peningkatan tajam dalam konsumsi plastik sekali pakai yang meluas telah memperburuk masalah polusi plastik. Selain itu, sistem daur ulang dan pengelolaan limbah yang tidak memiliki kapasitas memadai di tingkat global juga semakin memperburuk situasi.

Secara khusus, studi sebelumnya sudah memperkirakan sekitar 8 juta ton makroplastik dan 1,5 ton mikroplastik primer mencemari lautan setiap tahun.

Sehingga, jika produksi plastik dan timbunan limbah terus tumbuh dengan angka tersebut, maka diproyeksikan polusi meningkat menjadi lebih dari dua kali lipat pada 2050.

Peneliti Winnie WY Lau dkk menyampaikan semakin banyak bukti menunjukkan dampak buruk pencemaran plastik. Misalnya, hampir 700 spesies laut dan lebih dari 50 spesies air tawar diketahui telah memakan atau terjerat dalam makroplastik.

Bahkan, ada bukti yang berkembang bahwa plastik dicerna oleh berbagai organisme darat.

Polusi plastik juga dinilai berdampak pada banyak aspek kesejahteraan manusia, seperti mempengaruhi estetika pantai, menghalangi drainase dan sistem rekayasa air limbah, serta menjadi tempat berkembang biak bagi vektor penyakit.

Melansir CNN, tim mengatakan tindakan global yang terkoordinasi diperlukan untuk menghindari tumpukan plastik yang lebih besar dari perkiraan 710 juta metrik ton pada tahun 2040.

Beberapa hal yang bisa dilakukan adalah mengurangi konsumsi plastik, meningkatkan tingkat penggunaan kembali plastik, meningkatkan pengumpulan dan daur ulang limbah, dan memperluas sistem pembuangan yang aman.

"Ini bukan masalah bagi negara berkembang, ini adalah masalah bagi semua orang," Direktur Program Ilmu Konservasi Pew, James Palardy.

Tim peneliti mengaku mengembangkan lima skenario untuk memperkirakan pengurangan polusi plastik antara 2016 dan 2040. Namun, hal itu tidak memberikan solusi untuk mengurangi polusi plastik secara global.

Sebagai gantinya, strategi pengurangan polusi plastik dapat secara luas dibagi menjadi tindakan hulu yakni mengurangi permintaan dan dari hilir yakni dengan pengumpulan dan daur ulang.

Lebih dari itu, komitmen besar untuk memperbaiki sistem plastik global diperlukan dari kalangan bisnis, pemerintah, dan komunitas internasional untuk menyelesaikan masalah ekologi, sosial, dan ekonomi dari polusi plastik, serta mencapai input plastik yang hampir nol ke lingkungan. 


Sumber :

https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20200724162855-199-529705/ahli-710-juta-ton-sampah-plastik-akan-menumpuk-di-bumi-2040.

Thursday, July 20, 2023

It’s Everything Change

‘It’s not climate change, it’s everything change’: sci-fi authors take on the global crisis

Margaret Atwood and Cormac McCarthy led the way. Now a new crop of novelists is putting the heating emergency at the forefront of their plots

@davidmbarnett

Sun 9 Jul 2023 13.00 BST

Science fiction has always dealt with worst-case scenarios when imagining our possible futures, and the climate has often formed the backdrop of the human struggles.

Some of the biggest names writing in the genre have tackled the climate crisis and its apocalyptic or dystopian consequences – Margaret Atwood’s Oryx and Crake, Cormac McCarthy’s The Road, Bruce Sterling’s Heavy Weather.

But a new generation of writers now believes it is impossible to write “near future” sci-fi without putting the climate emergency at the forefront of their speculative fiction. For many, this is because they are living through the crisis and can imagine all too easily what may happen if real-life behaviour doesn’t change.

“My writing has always been drawn from my own worries and fears, so it was perhaps inevitable that I would choose to write about the climate emergency,” says Rachelle Atalla, a Glasgow-based Scottish-Egyptian author whose second novel, Thirsty Animals, came out this year.

“I have long been interested in water – all life [is] dependent upon it, yet we are also happy to exploit it as a commodity. Particularly in the UK, we behave with the assumption that there will always be an abundance of drinking water.”

Atalla’s book follows a young woman and her mother living on a farm in the Scottish borders during a devastating drought. Enticed by visions of almost bottomless lochs of cool water in Scotland, there is a flood of immigrants from England – until the Scottish government closes the border, huge refugee camps build up and desperate English families who cross are shot.

Atalla says: “Writing Thirsty Animals was an opportunity to bring the realities of climate change and its displacement closer to home. I wanted to really interrogate human behaviour and ask: as our natural resources begin to dwindle, do we take a community-based approach in pursuit of active change? Or do we turn inwards and focus on our individualistic desire to survive?”

Climate change is becoming so prevalent in fiction that there have been attempts to label it – not entirely successfully – with its own sub-genre classification – cli-fi. But just as Atwood said of her MaddAddam trilogy, “It’s not climate change, it’s everything change”, so many of the current crop of science fiction authors feel you can’t actually write about the future without mentioning the threat to the planet.

“I think it would be hard to write near future SF that feels plausible without acknowledging climate breakdown in some way, even if it’s implicit rather than explicit in how it touches people’s lives,” says EJ Swift.

Her novel The Coral Bones, published last year, centres on the Great Barrier Reef in a David Mitchell-esque narrative split between three women – one in the 19th century, one in the present day and one in a future ravaged by global warming.

“Seeing images of corals bleaching on the Great Barrier Reef, I kept thinking about how it would feel to be on the frontline, having to witness the devastation to these extraordinary ecosystems,” she says. “I wanted to write about how our relationship with the more-than-human world has led us to this crisis, and how we might change.

“Climate breakdown is escalating so rapidly that events which 10 years ago might have seemed like the distant future are happening now. Everything is filtered through that lens – even when it’s not the main focus, climate anxiety is there in the periphery.”

Other recent books dealing with the devastation to the climate include Kate Sawyer’s The Stranding, which begins with the striking image of two strangers sheltering in the mouth of a dead, beached whale as a calamitous extinction event hits the world, Susannah Wise’s This Fragile Earth, in which the complete failure of all technology brings into focus our uneasy relationship with nature, and Sarah K Jackson’s Not Alone, about a mother and son surviving in the aftermath of a microplastics storm that has decimated the population.

The science fiction writer Adrian Tchaikovsky, known for his huge, widescreen space opera novels set in distant galaxies, is turning his attention to the climate crisis next year with a horror novella called Saturation Point.

“With the very real science and facts of climate change becoming ever more present and felt in our here and now, is it any wonder that more science fiction writers are using their stories to write cautionary tales of a future where humanity will be forced to adapt and change in order to survive?” says Julie Crisp, a literary agent working mainly with science fiction and fantasy.

Science fiction has always sounded a warning about human behaviour and its possible consequences, she adds. “It deals with a futuristic imagining based on the scientific, moral and social principles of the ‘now’ – and the author taking them a step further, into the ‘then’.

“Whether it’s the imaginings of George Orwell’s Nineteen Eighty-Four and a dystopian future cowed by mass surveillance and regimentation of its people or Margaret Atwood’s The Handmaid’s Tale, with its patriarchal and white supremacist control over women’s bodies – science fiction has shown readers what can happen should the worst actions of society follow an upward trajectory and become a dystopian style-future.”

She cites Kim Stanley Robinson’s The Ministry for the Future and Imbolo Mbue’s How Beautiful We Were as examples of authors using climate change “to paint a grim picture of where, should the inertia of humanity to change their destructive actions continue, it will lead to a future that none of us want”.


Sumber :

https://www.theguardian.com/books/2023/jul/09/climate-change-sci-fi-authors-global-crisis-atwood-mccarthy