Pages

Tuesday, March 21, 2023

Circularism

Circularism adalah sebuah konsep yang berkaitan dengan keberlanjutan (sustainability) dan pengelolaan sumber daya yang berkelanjutan. Circularism mengusung prinsip bahwa produk, bahan, dan sumber daya harus dipergunakan secara efektif dan efisien, sehingga mengurangi limbah dan meningkatkan ketersediaan sumber daya alami.

Circularism menekankan pada pentingnya penggunaan ulang dan daur ulang sumber daya alami dan produk, serta penggunaan teknologi dan desain yang memungkinkan penggunaan ulang yang lebih mudah. Konsep ini juga mempromosikan pendekatan sistemik dalam pengelolaan sumber daya, yang mengakui bahwa sumber daya yang berbeda saling terhubung dan dapat digunakan dalam cara yang lebih efisien dan efektif.

Dalam prakteknya, circularism sering terkait dengan pendekatan ekonomi sirkular (circular economy), di mana produk dan sumber daya didesain, diproduksi, dan digunakan dengan cara yang meminimalkan pembuangan dan memaksimalkan penggunaan ulang. Pendekatan ini mempromosikan model bisnis yang berkelanjutan, di mana penggunaan sumber daya alami dan produk dikelola dengan cara yang lebih bijaksana dan berkelanjutan bagi lingkungan dan masyarakat.

Monday, March 20, 2023

Manfaat Hutan dan Bencana Hidrometeorologi

Manfaat Hutan dan Kaitannya dengan Bencana Hidrometeorologi

Selasa, 21 Maret 2023 | 04:40 WIB

Hutan merupakan aspek penting bagi keberlangsungan manusia di muka bumi. Di Indonesia sendiri, kehadiran hutan menjadi sangat penting bagi kehidupan dan bagi keberlanjutan pembangunan nasional, sehingga harus dilestarikan dan tutupannya harus cukup.

Dalam memperingati Hari Hutan Internasional yang jatuh pada hari ini, Selasa (21/3/2023) Agus Setyarso, Deputy Director, Pusat Sains Kelapa Sawit Instiper Yogyakarta, bersama Chay Asdak, Guru Besar Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Universitas Padjadjaran memaparkan hasil kajian terkait kehutanan dan bencana hidrometeorologi.


Hutan Mangrove Jadi Andalan Wisata Desa Budo

Hutan merupakan sumber daya alam yang dapat diperbaharui, sehingga pemanfaatan dan pengelolaannya harus tetap mempertimbangkan beragam aspek demi keseimbangan dan pelestarian ekosistem.

“Jika pertumbuhan hutan mampu terus menerus menyediakan manfaat ekonomi, ekologi, dan sosial, maka berkelanjutan didefinisikan tentang manfaat yang diambil mampu untuk menyelenggarakan dan membiayai pembangunan pada periode berikutnya,” ungkap Agus Setyarso, Deputy Director, Pusat Sains Kelapa Sawit Instiper Yogyakarta di Jakarta Senin (20/3/2023) kemarin.

Dijelaskan lebih lanjut, keberlanjutan dan kelestarian hutan hanya dapat terwujud melalui pemenuhan dua syarat yaitu tatakelola (governance), dan pengelolaan (management) yang baik.

"Manajemen hutan yang baik memerlukan kecukupan kinerja tatakelola kehutanan yang baik,” sambung Agus.

Langkah mengawali capaian tujuan pembangunan berkelanjutan dapat dimulai dari beberapa langkah tatakelola kehutanan yaitu tata-kebijakan, tata-instrumentasi pelaksanaan kebijakan, tata-pengaturan sumberdaya yang berkenaan dengan kepentingan publik dan barang publik, tata-peran para pihak, maupun tata-distribusi manfaat privat, yang diperankan oleh pemerintah, pemerintah daerah, pihak swasta, dan masyarakat dalam arti luas termasuk masyarakat internasional.

Kelestarian dan keberlanjutan kehutanan terwujud ketika tatakelola dan manajemen terhantar (delivered) ke tingkat tapak. Namun, melihat bencana hidrometeorologi adalah fokus berikutnya. Bencana ini disebabkan oleh ragam parameter meteorologi, diantaranya suhu, tekanan, curah hujan, angin, kelembapan, dan lain-lain. Kejadian bencana hidrometeorologi antara lain banjir, cuaca ekstrem, kekeringan, kebakaran hutan dan lahan badai, dan tanah longsor.

“Kecenderungan naiknya tinggi muka air laut seperti banjir rob di Indonesia yang disebabkan oleh perubahan iklim dapat dimitigasi dengan mempertahankan serta membangun hutan bakau, juga dengan melalui intervensi mitigatif infrastruktur fisik yang struktural seperti melalui drainase dan reklamasi,” ungkap Chay Asdak, Guru Besar Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Universitas Padjadjaran.


Indonesia, Brasil, dan DR Kongo Jalin Kerja Sama Hutan Tropis

Selanjutnya, terkait rekomendasi pendekatan ekosistem bisa dilakukan melalui infrastruktur alami yang diwujudkan melalui yang pertama mekanisme insentif dan disinsentif. Mekanisme insentif atau bantuan teknis kepada pemilik tanah untuk mengelola secara ramah lingkungan. Berikutnya, mekanisme imbal jasa lingkungan. Mekanisme insentif dan imbal jasa lingkungan menjadi efficient tools dan pendekatan efektif untuk mengamankan infrastruktur alam.


Sumber :

https://www.beritasatu.com/nasional/1033740/manfaat-hutan-dan-kaitannya-dengan-bencana-hidrometeorologi

Thursday, March 16, 2023

Green Wave Environmental Care Project For Schools

Kemangi Antarkan Mahasiswa UM Juarai Green Wave Environmental Care Project For Schools

Last updated: 2023/03/15 at 9:51 PM

Tidak hanya mengganggu, lalat juga dapat menjadi sarang penyakit. Tak jarang lalat yang hinggap di sembarang tempat membawa bakteri dan parasit di tubuhnya, sehingga dapat merugikan manusia.

Menurut World Health Organization (WHO), lalat rumah menjadi pembawa bakteri dan parasit penyebab diare dan infeksi mata. Permasalahan ini menarik perhatian lima mahasiswa Universitas Negeri Malang (UM). Sehingga berhasil ciptakan pembasmi lalat yang juga berfungsi sebagai pestisida sekaligus disinfektan alami dari daun kemangi.

ESSIL, begitu nama produknya. Adalah insektisida alami dari bahan dasar kemangi dengan tambahan kulit jeruk nipis dan daun cengkeh yang baik untuk lingkungan.

Viska Rinata, mahasiswa S1 Biologi UM selaku co-researcher menjelaskan, alasan inovasi tersebut dapat tercipta. Lantaran tingginya peledakan populasi lalat yang disebabkan peternakan ayam di Trenggalek, Jawa Timur.

Tingginya jumlah peternakan ayam yang beroperasi aktif di Trenggalek mencapai 3.272.238. Sehingga memicu ledakan populasi lalat secara drastis dan mengganggu masyarakat.

”Siapa sih yang nggak terganggu sama lalat. Karena lalat itu annoying banget. Selain annoying, resiko penyakit dari bakteri yang dibawa lalat itu lebih tinggi daripada serangga lain. Seperti kecoa dan sebagainya,” ujar gadis asal Trenggalek tersebut.

Melihat hal itu, Viska dan tim tidak diam saja. Mereka mencari solusi yang mudah dijangkau dan ekonomis agar bisa diterima serta digunakan secara maksimal oleh warga sekitar.

Viska mencoba mengamati lingkungan sekitar dan menemukan, bahwa banyak sekali petani kemangi di Trenggalek. Sayangnya, daun kemangi lumrah dimanfaatkan hanya sebagai lalapan atau makanan pendamping sambal dan nasi yang tentu memiliki harga jual rendah.

”Sebenarnya di daerah itu (Trenggalek) sudah ada masalah dan solusi yang tepat. Namun belum terintegrasi dengan baik. Nah, dari situ muncul ide untuk membuat inovasi ini,” tutur Viska.

ESSIL terbuat dari daun kemangi, daun cengkeh, dan kulit jeruk nipis yang memiliki nilai jual sangat rendah. Bahkan seringkali menjadi limbah.

Bahan dasar produk ini adalah daun kemangi serta memiliki bahan aktif methyl clavicle dan cineol yang tidak disukai oleh lalat. Ditambah dengan daun cengkeh dan kulit jeruk nipis yang memiliki fungsi antimikroba yang membuat produk ini memiliki nilai keterbaruan yang tinggi.

Berdasarkan uji yang telah dilakukan, ESSIL memiliki persentase efektifitas yang cukup tinggi dalam mengusir lalat. Yaitu lebih dari 90%.

Tak hanya itu, berdasarkan uji organoleptik yang telah dilakukan, semua penguji menyatakan menyukai aroma dan tekstur dari ESSIL. Menggunakan teknologi nano fogging gun, penyemprotan produk dapat dilakukan lebih cepat, rata, dan tepat sasaran.

Inovasi hebat dari Viska dan tim sudah bisa digunakan di rumah yang terdampak ledakan populasi lalat.

”Jadi selain sebagai repellent lalat, ESSIL juga berfungsi sebagai disinfektan untuk membersihkan sisa-sisa bakteri yang ditinggalkan lalat sehingga dapat meminimalisir resiko diare, penyebaran polio, disentri dan lain sebagainya.”

“Ini produk sustainable yang ramah lingkungan dan minim resikonya bagi kesehatan masyarakat maupun lingkungan,” tambah gadis berusia 21 tahun tersebut.

Harapannya, ESSIL dapat dikembangkan sehingga bisa digunakan secara komersil di bidang peternakan.

”Untuk saat ini produksi masih dilakukan dalam skala kecil karena keterbatasan biaya dan sumber daya, namun produk ini memiliki nilai jual tinggi sehingga dapat dikomersilkan di bidang peternakan,” ucapnya.

Inovasi tersebut berhasil menarik perhatian juri di ajang Green Wave Environmental Care Project For Schools 2022 yang diadakan oleh Sembcorp Marine di Singapura. Memiliki nilai jual dan keterbaruan yang tinggi, ESSIL berhasil meraih juara dua di ajang tersebut.

Pemakaian daun kemangi di bidang industri yang masih asing di masyarakat luas juga menarik perhatian para juri. Membawa nama baik UM di ajang internasional, Viska dan tim diundang menghadiri acara penghargaan di Parkroyal Collection Marina Bay, Singapura pada pertengahan Februari 2023.

Selaku penggagas ide, Viska berharap produk ini bisa menjadi produk yang dapat digunakan oleh banyak orang di masa depan.

”Fokus riset aku itu kan di green industry, jadi aku berharap produk ini bisa aku kembangin dan jadi core dari green industry yang ingin aku bangun di masa depan,” ujar Viska menyampaikan mimpi besarnya.


Sumber :

https://infomalangraya.com/kemangi-antarkan-mahasiswa-um-juarai-green-wave-environmental-care-project-for-schools/

Friday, March 3, 2023

Kiamat dan Sikat Gigi

Tanda Kiamat Makin Banyak Akibat Sikat Gigi, Kok Bisa?

Tanda kiamat yang merujuk pada kehancuran hidup manusia memang semakin nyata dan kita rasakan. Sebut salah satunya perubahan iklim. Menurut PBB, perubahan iklim mengacu pada perubahan suhu dan pola cuaca dalam jangka panjang.

Perubahan ini sebetulnya bersifat alami. Namun, sejak tahun 1800-an aktivitas manusia telah memicu perubahan iklim global, seperti pembakaran bahan bakar fosil, efek gas rumah kaca, sampai yang paling tidak diduga, yakni penggunaan sikat gigi. Kok bisa?

Dalam menjalani aktivitas, kebersihan menjadi hal yang diutamakan manusia, termasuk juga kebersihan gigi. Maka, dibutuhkan-lah alat seperti sikat gigi, mouthwash, dan benang gigi. Pada titik inilah sikat gigi mendorong perubahan iklim, setidaknya sejak sikat gigi modern ditemukan pada 1900-an.

Melihat pada sejarahnya, sikat gigi awalnya menggunakan bahan alami, seperti bambu atau kulit kayu, salah satu yang mungkin kita kenal adalah siwak. Lalu seiring berjalannya waktu mulai ada variasi, seperti menggunakan tulang hewan sebagai gagang dan kulit hewan sebagai sikat.

Namun, sejak tahun 1900-an, semua itu berubah. Setelahnya, sikat gigi mengandung bahan yang sangat tidak ramah lingkungan. Gagangnya dari plastik dan bulu sikatnya dari nilon. Menurut Greenbiz, kedua bahan tersebut masuk dalam benda yang tidak dapat diperbaharui dan sangat sulit untuk terurai dalam waktu singkat, sehingga berbahaya bagi manusia.

Menurut National Geographic, permasalahan ini yang membuat sikat gigi menjadi bagian dari krisis. Kenapa?

Perlu diketahui, sikat gigi adalah benda yang tidak awet. Laman American Dental Association (ADA) menganjurkan sikat gigi diganti setiap 3-4 bulan sekali. Artinya, setiap tahun seseorang membuang sikat gigi lama dan menggantikannya dengan yang baru selama 3-4 kali.

Jika penduduk Indonesia ada 273 juta dan diasumsikan rutin mengganti sikat gigi, maka ada lebih dari 1 miliar sampah sikat gigi dalam setahun. Belum lagi jika menghitung berdasarkan jumlah seluruh orang di dunia sebanyak 8 miliar orang. Maka, ada 24 miliar limbah sikat gigi dalam setahun.

Lebih dari itu, apabila asumsi pergantian itu rutin terjadi maka setiap manusia sampai usia 75 tahun akan menggunakan 280-300 sikat gigi. Itu baru seorang, dan belum dikalikan dengan jumlah manusia di bumi. Tentu hasilnya akan sangat fantastis.

Bahkan National Geographic menyebut sampah sikat gigi Amerika Serikat (AS) berpenduduk 331 juta jiwa mampu melilit bumi dalam 4 lilitan dalam setahun saja. Menurut perusahaan Haeckels, yang memproduksi barang ramah lingkungan, di Inggris saja ada 264 juta sikat gigi yang dibuang karena lewat batas pakai. Kalkulasi ini belum memperhitungkan model sikat gigi listrik yang di dalamnya terdapat baterai yang tentu sangat tidak ramah lingkungan.

Sama seperti plastik, sikat gigi pun baru bisa terurai setelah 200-700 tahun. Selama itu, tulis Massachusetts Institute of Technology, plastik akan mengeluarkan gas rumah kaca. Dan jika berada di laut akan mematikan kehidupan zooplankton yang memiliki peran untuk menyerap karbon.

Sayang, mengurai permasalahan limbah sikat gigi tidak seperti benda-benda lain, alias sangat sulit. Sebab, sikat gigi memiliki peran yang tidak tergantikan. Jika mengganti gagangnya dengan bambu pun, tetap saja bulu sikatnya menggunakan nilon. 

"Sangat sulit untuk menemukan opsi sikat bebas plastik. Plastik biodegradable tidak selalu lebih baik untuk bumi daripada plastik yang lebih tradisional," tulis jurnalis Alejandra Borunda di National Geographic.

Beranjak dari sini, mungkin kita harus memikirkan kembali menyikat gigi menggunakan bahan alam semacam siwak atau beralih sepenuhnya ke sikat gigi ramah lingkungan, meski harus merogoh kocek dalam. 


Sumber :

https://www.cnbcindonesia.com/news/20230220092314-4-415185/tanda-kiamat-makin-banyak-akibat-sikat-gigi-kok-bisa