Pakar: Biomass Cofiring Solusi Alternatif Transisi Energi
Kamis, 09/09/2021 19:26 WIB
Di tengah upaya pemerintah mendorong bauran energi baru dan terbarukan (EBT) demi mencapai emisi netral, cofiring biomassa dinilai dapat menjadi solusi.
Cofiring biomassa tidak hanya dapat mengurangi penggunaan bahan bakar fosil secara bertahap, tetapi juga dapat menjadi solusi permasalahan sampah sekaligus menggerakkan ekonomi.
Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan menyebutkan penggunaan biomass cofiring menjadi salah satu usaha untuk mengurangi ketergantungan energi fosil.
Saat ini, lanjutnya, sejumlah PLTU di beberapa daerah sudah melakukan uji coba biomass cofiring dan berhasil.Skema itu adalah mencampur biomassa dengan batu bara, sehingga penggunaan batu bara sebagai bahan baku pembangkit listrik dapat dikurangi secara berkelanjutan.
Seiring waktu, penggunaan bahan baku fossil dapat terus ditekan hingga ke level terendah.
"PLN mencoba dan sudah berhasil di beberapa pembangkit mereka untuk mengurangi penggunaan batubara melalui cofiring biomassa dan hasilnya cukup bagus. Ini penting juga dilakukan karena dapat mendorong bauran EBT, dan secara otomatis akan membantu mengurangi sampah juga meningkatkan keekonomian," ujar Mamit, Kamis (9/9).
Iwa Garniwa, Guru Besar Fakultas Teknik Elektro Universitas Indonesia, menyebutkan bahwa biomass cofiring merupakan salah satu alternatif yang dapat didorong untuk mencapai target bauran energi terbarukan sebanyak 23 persen pada 2025, alih-alih hanya fokus ke pengembangan PLTS Atap yang hingga kini masih menuai perdebatan dalam hal peraturannya.
Menurut Iwa, biomass cofiring termasuk realistis karena sebanyak 60 persen pembangkit listrik di Indonesia yang sudah beroperasi hingga saat ini menggunakan batu bara.
Dengan cofiring, ujarnya, penggunaan batu bara pada pembangkit dikurangi. Dalam skala besar dan lebih panjang, langkah ini akan dapat mengatasi masalah Indonesia yang sedang mendorong energi bersih.
"Batu baranya sebagian kita ganti. Ada bahasanya cofiring. Jadi [misalnya] 90 persen batu bara, 10 persen biomass. Biomass, sampah, kan renewable energy. Sampah, biomass, itu dikonversi menjadi batu bara. Dicampurlah. Ini berarti penggunaan batu bara sudah berkurang 10 persen," terangnya.
Dia menyebutkan bahwa kebutuhan batu bara di Indonesia mencapai sekitar 120 juta ton. Dengan biomass cofiring sebayak 90 persen batu bara dan 10 persen biomass, maka kebutuhan batu bara turun menjadi sekitar 108 juta ton karena sebanyak 12 juta ton sudah digantika oleh biomass.
"Itu berarti kontribusi renewable energy masuk di pembangkit batu bara. Batu baranya turun. Itu mix, yang salah satu bisa dikerjakan pemerintah untuk mendorong bauran energi terbarukan," katanya.
Pasokan Bahan Baku
Sekretaris Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Sahid Junaidi menyebutkan tantangan terbesar dalam implementasi cofiring biomassa adalah usaha untuk menjaga keberlanjutan pasokan bahan baku biomassa dengan tetap memperhatikan aspek keekonomian.
Dalam keterangan resminya, menjaga keberlanjutan pasokan bahan baku dinilai menjadi hal yang sangat penting untuk menjaga harga listrik yang dihasilkan tetap terjangkau dan tidak melebihi biaya pokok penyediaan (BPP) yang ditetapkan.
Namun, dia menegaskan bahwa penggunaan biomassa sebagai substitusi bahan bakar PLTU sejalan dengan upaya Indonesia menuju emisi netral di masa mendatang. Lebih lanjut, dia juga menyebutkan bahwa implementasi cofiring PLTU dapat meningkatkan skala ekonomi biomassa.
Pasalnya, selain ikut mendorong kontribusi energi terbarukan pada bauran energi nasional,co-firing juga dinilai berdampak positif kepada pengembangan ekonomi kerakyatan karena dapat membuka lapangan kerja dan peluang bisnis di sektor biomassa, khususnya yang berbasis sampah dan limbah.
Biomassa untuk co-firing dapat diambil dari limbah pertanian, limbah industri pengolahan kayu, hingga limbah rumah tangga.
Selain itu, biomassa untuk cofiring juga dapat diambil dari tanaman energi yang ditanam pada lahan kering atau dibudidayakan pada kawasan hutan tanaman energi seperti pohon kaliandra, gamal, dan lamtoro.
"Kami mendukung upaya PLN untuk terus mencari peluang pemanfaatan biomassa, melakukan komitmen dengan pemasok biomassa besar, serta mendorong berkembangnya pasar biomassa skala menengah dan kecil," katanya.
"Kami berharap upaya-upaya ini terus dilanjutkan di setiap titik lokasi PLTU di Indonesia sehingga nantinya akan tercipta pasaryang semakin besar dan keekonomian serta economics of scale yang semakin baik, " papar Sahid.
PLN telah menetapkan komitmen untuk mencapai karbon netral pada 2060 sebagai respons terhadap isu perubahan iklim.
Satu-satunya perusahaan pengelola energi listrik dalam negeri itu pun menyiapkan skema transisi menuju EBT dan pergeseran dari energi berbasis impor menuju energi berbasis domestik.
Pihaknya pun mengaku telah menyiapkan peta jalan untuk melakukan pensiun bertahap bagi Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang dimiliki.
"Kami menyiapkan peta jala retirement [pensiun] PLTU batu bara untuk mencapai karbon netral pada 2060," ujar Direktur Utama PLN Zulkifli Zaini dalam situs resmi perseroan.
Dalam petajalan yang telah disiapkan, PLN menyatakan akan melakukan tahapan monetisasi PLTU batu bara sebesar 50,1 GW hingga 2056 dan menggantinya secara bertahap dengan EBT.
PLN saat ini memiliki program Green Booster melalui biomass cofiring atau pencampuran biomassa dengan batu bara. Dalam praktiknya, penggunaan sebagian batubara disubstitusi dengan biomassa dari tanaman energi maupun pellet sampah. Inovasi ini akan dilakukan di 53 PLTU eksisting PLN.
Berdasarkan catatan Direktorat Jenderal EBTKE Kementerian ESDM, sampai dengan Juni 2021, PLN telah mengimplementasikan co-firing pada 17 PLTU. Sekitar 12 PLTU tersebar di Jawa dan 5 lokasi di luar Jawa.
Pembangkit-pembangkit itu dikelola oleh dua anak usaha PLN yaitu PT Indonesia Power dan PT Pembangkitan Jawa Bali.
Indonesia Power mengelola cofiring PLTU Suralaya 1-7, PLTU Sanggau, PLTU Jeranjang, PLTU Labuan, PLTU Lontar, PLTU Pelabuhan Ratu, PLTU Barru dan PLTU Adipala. Sementara itu, PJB diPLTU Paiton Unit 1-2, PLTU Pacitan, PLTU Ketapang, PLTU Anggrek, PLTU Rembang, PLTU Paiton 9, PLTU Tanjung Awar-Awar dan PLTU Indramayu.
Dari proyek cofiring tersebut, PLN mampu menghasilkan energi hijau dari ekuivalen kapasitas pembangkit 189 Mega Watt (MW).
Sumber :
https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20210909191334-90-692233/pakar-biomass-cofiring-solusi-alternatif-transisi-energi?