Pages

Thursday, March 21, 2024

Waspada Penurunan Tanah di Utara Jawa

Pulau Jawa, yang merupakan pulau terpadat di Indonesia, menghadapi tantangan serius dalam bentuk penurunan tanah. Fenomena ini telah menjadi perhatian utama para ilmuwan, pemerintah, dan masyarakat karena dampaknya yang merugikan. 

Penurunan tanah di Pulau Jawa adalah masalah yang kompleks dan memerlukan pendekatan komprehensif dari berbagai pihak. Dengan mengidentifikasi penyebab utama, memahami dampaknya, dan mengimplementasikan solusi yang tepat, kita dapat melindungi lingkungan dan memastikan keberlanjutan Pulau Jawa untuk generasi mendatang.

-

Berdasarkan info dari KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA pada tanggal : 2 Desember 2020, dijelaskan bahwa terjadi penurunan muka tanah yang terus berlangsung di wilayah pesisir utara. Diungkapkan bahwa sejumlah wilayah tersebut terjadi penurunan antara 6 - 10 sentimeter per tahunnya.

Fenomena penurunan muka tanah ini dimonitoring secara komperhensif pada tahun 2020. Berdasarkan hasil monitoring, penurunan tanah di wilayah Semarang bisa mencapai lebih dari 10 cm per tahun. Sementara untuk wilayah Pekalongan sejak pemantauan bulan Mei 2020 sekitar 0,5 cm per bulan. Besaran ini sama dengan hasil pemantauan yang terjadi di Kendal di 2016.

https://www.esdm.go.id/id/media-center/arsip-berita/ini-penyebab-terjadinya-penurunan-tanah-di-pesisir-utara-jawa-tengah

Berdasarkan hasil pemantauan citra satelit, terjadi penurunan muka tanah di DKI Jakarta antara 0.1-8 cm per tahun, Cirebon antara 0.3-4 cm per tahun, Pekalongan antara 2.1-11 cm per tahun, Semarang antara 0.9 – 6 cm per tahun, dan Surabaya antara 0.3 – 4.3 cm per tahun.

Dampak perubahan iklim terhadap pesisir utara Pulau Jawa saat ini sudah semakin tinggi dengan dipicu oleh penurunan permukaan tanah di wilayah tersebut. Cirebon, Pekalongan, Semarang, dan Surabaya adalah kota-kota pesisir utara Jawa yang paling rawan terhadap penurunan tanah ekstrim hingga tahun 2050.

https://www.beritasatu.com/news/828699/pekalongan-alami-penurunan-tanah-terparah

Setidaknya ada tiga faktor yang mempengaruhi terjadinya penurunan tanah.

Tiga faktor tersebut di antaranya, ekstraksi air tanah yang berlebih, beban karena konstruksi infrastruktur, dan kondisi geologi yang berupa endapan alluvial dan batuan sedimen. Dari tiga faktor tersebut akhrinya menyebabkan subsidence atau penurunan tanah.

Pada 2017-2018 melalui GPS di beberapa titik di wilayah Timur dan Selatan Surabaya mengungkap adanya penurunan tanah. Namun penurunan tanah di Kota Surabaya tidak sedalam di Jakarta ataupun Semarang.

Kota Surabaya turun sedalam 20-40 milimeter.

https://www.suarasurabaya.net/kelanakota/2022/pakar-geomatika-its-jelaskan-tiga-penyebab-penurunan-tanah-pantura-jawa-dan-surabaya/

Pengendalian penggunaan air tanah ini merupakan regulasi yang bertujuan untuk menjaga agar air tanah dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan untuk berbagai keperluan. Terutama untuk menjamin kebutuhan di masa depan. 

https://www.cnbcindonesia.com/news/20231113154002-4-488634/waspada-tanah-pantura-jawa-sudah-ambles

Perlu adanya pengkajian ulang soal Amdal dan pembatasan penggunaan air tanah untuk Kota Semarang dan sekitarnya. 

https://www.metrotvnews.com/play/bmRCeel4-penurunan-tanah-picu-banjir-di-utara-pulau-jawa

Akibat penurunan yang berkelanjutan membuat saat ini permukaan tanah wilayah pesisir Jawa Tengah itu terpaut lebih rendah dari muka air laut.

Itulah mengapa bila diguyur hujan air cepat menyebar, dan surutnya membutuhkan waktu lama dan juga tak sedikit berujung longsor.

https://www.antaranews.com/berita/4010295/bmkg-penurunan-tanah-jadi-pemicu-pulau-jawa-rentan-terdampak-banjir

Jakarta, kota yang diprediksi akan tenggelam dalam beberapa tahun ke depan. Jakarta memang terancam akan tenggelam dalam beberapa tahun ke depan. Hal ini merupakan imbas dari pemanasan global, serta penurunan muka tanah di wilayah Jakarta. Selain Jakarta, ada beberapa kota lain di Pulau Jawa yang memiliki nasib sama, terancam tenggelam di masa depan. 

Jakarta diprediksi menjadi kota pertama di dunia yang akan tenggelam. Jika tidak segera diantisipasi, seluruh wilayah Jakarta Utara diprediksi akan tenggelam pada tahun 2050.

https://goodstats.id/article/3-kota-di-pulau-jawa-ini-terancam-tenggelam-dalam-beberapa-tahun-ke-depan-YtXlN

Fenomena amblesan tanah setidaknya telah terjadi di Pulau Jawa sejak tahun 1970-an. Daerah-daerah pesisir, seperti Jakarta, Semarang, Pekalongan, Bekasi, Kendal, dan Demak memiliki ancaman lebih tinggi untuk mengalami penurunan tanah lebih dalam.

Fenomena amblesan tanah akan semakin terjadi pada daerah-daerah yang memiliki struktur tanah alluvial, endapan danau, gambut, dan tanah organik yang berumur muda atau kuarter. Di mana jenis-jenis tanah ini lah yang menyusun daratan daerah-daerah di Pantai Utara (Pantura) Jawa.

Jika permasalahan akibat penurunan permukaan tanah tidak segera diatasi, estimasi kerugian ekonomi yang harus ditanggung Pulau Jawa, khususnya di Jakarta saja dapat mencapai Rp2,1 trilun per tahun

Agar Pulau Jawa, utamanya Pantura tidak semakin tenggelam, pemerintah bakal membentuk kelompok kerja untuk menggarap Major Project Pengaman Pesisir Tanggul Laut Raksasa (atau Giant Sea Wall) di lima kota di Pantura Jawa. 

Tanggul laut raksasa adalah struktur besar yang dibangun di sepanjang garis pantai untuk melindungi daratan dari gelombang laut yang tinggi dan erosi pantai. Struktur ini terdiri dari material yang kuat seperti beton, batu, atau bahkan bahan-bahan ramah lingkungan seperti bambu yang disusun secara bertahap untuk membentuk barikade yang kokoh.

Pengaman pesisir tanggul laut raksasa menawarkan solusi yang potensial untuk melindungi pesisir dari ancaman gelombang laut dan erosi pantai yang semakin memburuk akibat perubahan iklim. Namun, pembangunan dan implementasi tanggul laut raksasa perlu dilakukan dengan hati-hati, dengan memperhatikan dampak lingkungan dan keberlanjutan jangka panjang. Dengan pendekatan yang bijaksana dan kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta, pengaman pesisir tanggul laut raksasa dapat menjadi langkah penting dalam menjaga keberlanjutan ekosistem pesisir di seluruh dunia.

https://www.alinea.id/bisnis/menjaga-pulau-jawa-agar-tak-tenggelam-dengan-tanggul-raksasa-b2k0f9P1z

Banjir yang akhir-akhir ini kerap melanda kawasan di Jawa Tengah, khususnya di Demak-Pati-Juwana tersebut sehingga kembali mencuat fenomena munculnya kembali Selat Muria.

Selat Muria, sebuah perairan di Jawa Tengah, telah menjadi subjek perhatian luas belakangan ini karena fenomena munculnya kembali yang mengejutkan. 

Selat Muria adalah selat yang terletak di antara Pulau Jawa dan Pulau Madura, di sebelah utara Provinsi Jawa Tengah, Indonesia. Selat ini memiliki kedalaman yang signifikan dan memainkan peran penting dalam kehidupan masyarakat pesisir.

Fenomena munculnya kembali Selat Muria adalah contoh yang menggambarkan kompleksitas alam dan interaksi antara faktor-faktor geologis, atmosferis, dan manusia. Dengan pemahaman yang lebih baik tentang fenomena ini, kita dapat mengambil langkah-langkah yang tepat untuk melindungi lingkungan dan mengurangi dampaknya terhadap masyarakat setempat.

https://www.kompas.com/tren/read/2024/03/21/123000465/selat-muria-tak-bisa-muncul-lagi-ini-alasannya-menurut-ahli-geologi-ugm?page=all.

Perubahan iklim dan penurunan tanah adalah dua masalah lingkungan yang saling terkait dan memiliki dampak yang signifikan terhadap kehidupan manusia dan ekosistem di seluruh dunia. Penurunan tanah dan perubahan iklim merupakan dua tantangan lingkungan yang saling terkait dan memerlukan solusi holistik. Dengan kerja sama antara pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta, serta upaya bersama untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan mengelola lahan secara berkelanjutan, kita dapat melindungi planet ini dan memastikan kelangsungan hidup bagi generasi mendatang.

No comments:

Post a Comment