Kelemahan
dalam model Linear Economy
Sementara ekonomi linier telah sangat berhasil
dalam menghasilkan kekayaan bagi negara-negara maju hingga abad ke-20, namun
dampak yang ditimbulkannya telah menimbulkan berbagai masalah serius yang telah
dibuktikan oleh para ekonom dan ilmuwan sebagai paradigma ekonomi yang
tidak-berkelanjutan (unsustainable),
terutama dampaknya terhadap aspek sosial dan lingkungan.
Para pakar di seluruh dunia telah
memperingatkan para pengambil keputusan, industrialis, serta masyarakat umum
tentang dampak dari ekonomi linear, terkait dengan pengelolaan sumber daya yang
boros (bahan bakar fosil), bahan baku yang mulai berkurang, populasi dunia yang
terus meningkat, serta pencemaran dan sampah yang dihasilkan dalam proses
ekstraksi/pembudidayaan bahan baku dan/atau industri pengolahan.
Ekonomi Linear diatur oleh prinsip yang destruktif untuk menghasilkan
lebih banyak produk dari sumber daya yang tersedia murah dengan rentang hidup
yang pendek (untuk diproduksi lebih banyak lagi, tentu saja), suatu pendekatan
dimana nasib produk setelah melampaui masa manfaatnya akan di buang ke tempat
sampah dan dibakar. Dan ironisnya, skema pengelolaan sampah modern yang
bertujuan untuk menghasilkan panas dan listrik dari pembakaran termasuk biogas
dan kompos di tempat pembuangan sampah, secara konseptual terkait dengan model
linier karena cenderung "mendorong" timbulan sampah dan alih-alih
menghindarinya sejak dini.
Menurut Ellen MacArthur Foundation (EMF), permasalahan di dalam
Ekonomi Linear ini berasal dari distribusi kekayaan yang tidak merata secara
historis berdasarkan wilayah geografis. Karena konsumen yang membutuhkan sumber
daya sebagian besar terkonsentrasi di negara maju (masyarakat barat), dan input
material semakin banyak bersumber dari arena global, negara-negara industri
mengalami kelimpahan sumber daya material dan energi. Dengan aransemen seperti
ini, bahan baku menjadi terasa lebih murah dibandingkan dengan biaya tenaga
kerja, sehingga para produsen termotivasi untuk mengadopsi model bisnis yang
memanfaatkan penggunaan material secara ekstensif. Terlebih lagi, semakin
banyak energi dan material yang dapat mereka manfaatkan untuk melengkapi sumber
daya manusia, maka akan semakin banyak keunggulan kompetitif yang dapat mereka
peroleh. Konsekuensi alami dari bahan yang murah adalah pengabaian untuk
mendaur ulang (recycle), menggunakan
kembali (reuse) yang dampaknya akan
menghasilkan lebih banyak limbah.
EMF juga menyatakan bahwa berdasarkan data dari sumber profesional, harga komoditas telah mencapai titik yang kritis di tahun 1999 mengakibatkan biaya material yang sebelumnya menurun memperoleh momentum kenaikan yang tidak stabil. Kenaikan harga dan volatilitas yang tinggi dapat dikaitkan dengan meningkatnya permintaan yang mendorong output ke titik dalam kurva biaya di mana tambahan biaya produksi menjadi sangat mahal yang disertai dengan mulai menipisnya lokasi ekstraksi yang dapat diakses. Situasi ini secara paralel juga diikuti dengan meningkatnya persaingan, yang menghambat perusahaan untuk menaikkan harga kepada pelanggan mereka, yang pada akhirnya mengurangi keuntungan perusahaan serta menurunkan nilai total output ekonomi.