Oleh : Alexander Aur, Dosen Filsafat, Universitas Pelita Harapan, Karawaci, Banten.
Editor Sandro Gatra
Kompas.com - 28/12/2021, 05:45 WIB
SALAH satu masalah yang dibahas dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Group of Twenty (G20) yang berlangsung di Roma 30-31 Oktober lalu, adalah perubahan iklim. Masalah itu disikapi Presiden Joko Widodo dengan hadir dalam KTT Perubahan Iklim ke-26 di Glasgow, Skotlandia.
Dalam kapasitasnya sebagai Presiden Indonesia dan sebagai Ketua KTT G20 yang baru, Joko Widodo menunjukkan komitmennya terhadap masalah perubahan iklim. Komitmen tersebut merupakan bentuk konkret dari politik lingkungan Presiden.
Di Glasgow, Joko Widodo menyatakan bahwa Indonesia tidak sekadar beretorika terkait masalah perubahan iklim. Indonesia sudah menyusun langkah konkret mengatasi perubahan iklim. Melalui Direktorat Adaptasi Perubahan Iklim Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan meluncurkan Program Kampung Iklim.
Program ini disampaikan oleh Presiden Joko Widodo pada pembukaan Climate Adaptation Summit 2021 tanggal 8-9 Februari 2021. Program tersebut menargetkan 20.000 kampung iklim pada tahun 2024.
Untuk mendukung pencapaian target tersebut, ada 8 langkah strategis yang perlu ditempuh, yaitu: penguatan kapasitas pemerintah daerah, penguatan kapasitas masyarakat, menjalin kemitraan multi pihak, mendorong kepemimpinan di tingkat lokal, mendorong komitmen para pihak, penyebarluasan keberhasilan, meningkatkan pengembangan dan penerapan teknologi tepat guna, serta mendorong optimalisasi potensi sumber pendanaan.
Politis atau ilmiah?
Apakah Program Kampung Iklim berdasarkan pertimbangan-pertimbangan ilmiah yang cukup? Atau semata-mata berdasarkan pertimbangan-pertimbangan politik?
Kedua, bagaimana sebaiknya pertimbangan ilmiah dan pertimbangan politik digunakan dalam perancangan dan pengembangan berbagai kebijakan menyangkut permasalahan lingkungan? Latar belakang Program Kampung Iklim adalah perubahan iklim yang terjadi.
Dalam konteks Indonesia, data yang disampaikan oleh “Data Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menunjukkan bahwa suhu rata-rata Indonesia pada tahun 2016 lebih tinggi 1,2 derajat celcius dibandingkan normalnya, yaitu berdasarkan suhu rata-rata tahun 1981-2000.
Hal ini melampaui rata-rata anomali suhu tahun 2015, yaitu sebesar 1 derajat celcius dibandingkan normalnya. Sejalan dengan hal tersebut, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) telah melaporkan bahwa terjadi kecenderungan kenaikan kejadian bencana hidrometeorologi seperti banjir, longsor, kekeringan, kebakaran hutan dan puting beliung.
Kejadian bencana hidrometeorologi yang diperparah dengan faktor antropogenik terus meningkat dari tahun ke tahun, di mana saat ini tercatat mencapai 98 persen dari seluruh kejadian bencana di Indonesia. Perubahan iklim merupakan persoalan dunia. Semua negara menghadapi masalah yang sama.
Bersama dengan beberapa negara lain, Indonesia sudah berkomitmen menahan laju kenaikan suhu rata-rata global tidak lebih dari 2 derajat Celcius, di atas tingkat pada masa pra industrialisasi, dengan ambisi lebih lanjut untuk menekan kenaikan suhu sebesar 1,5 derajat Celcius.
Komitmen Indonesia dan beberapa negara lain itu tertuang dalam Kesepakatan Paris (Paris Agreement) yang ditetapkan di Paris pada tahun 2015. Konsekuensi logis dari fakta perubahan iklim dan komitmen dalam Paris Agreement adalah Indonesia harus menangani perubahan iklim melalui program-program yang dapat dilakukan.
Program Kampung Iklim adalah salah satu dari kegiatan pengendalian perubahan iklim. Untuk itu, keterlibatan semua pihak di negara ini dalam pengendalian perubahan iklim adalah wujud konkret dari tanggungjawab ilmiah sekaligus tanggung jawab etis terhadap keberlanjutan lingkungan hidup (environment sustainability).
Jadi, kesimpulan yang dapat diambil adalah Program Kampung Iklim merupakan sebuah program berbasis metodologi ilmiah. Riset-riset ilmiah atas perubahan iklim menjadi dasar ilmiah untuk memberikan legitimasi ilmiah pada program tersebut. Program Kampung Iklim dengan target 20.000 kampung iklim pada 2024 sangat ambisius.
Ada nuansa politis. Ini sesuatu yang wajar. Kewajarannya berdasarkan pertimbangan-pertimbangan ilmiah mengenai daya dukung komunitas-komunitas budaya dan desa-desa di Indonesia. Selain itu, pemerintah memang perlu memastikan kehendak politik (good will) yang kuat untuk mengatasi perubahan iklim.
Setiap kebijakan publik yang ditetapkan oleh pemerintah harus bertumpu pada riset-riset ilmiah. Dalam contoh kasus Program Kampung Iklim tersebut, riset ilmiah melandasai kebijakan tersebut. Riset ilmiah tampak dalam data ilmiah yang diberikan oleh Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengenai kenaikan suhu bumi dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengenai berbagai bencana akibat perubahan iklim.
Kebijakan publik bidang lingkungan, khususnya perubahan iklim, mesti berdasarkan riset ilmiah. Dengan riset, persoalan lingkungan dapat diukur dan penanganannya pun secara terukur pula. Dengan demikian, kebijakan publik merupakan upaya menjawab dan menyelesaikan persoalan lingkungan yang dihadapi dan dialami oleh warga negara-bangsa Indonesia.
Pertimbangan-pertimbangan ilmiah dan pertimbangan politis dalam kebijakan publik, merupakan dua hal yang saling bersinergi. Sinergi kedua hal tersebut membantu penyelesaian berbagai persoalan dalam bidang lingkungan hidup di Indonesia.
Ini adalah tanggungjawab semua pihak dari negara-bangsa ini.
Demokrasi lingkungan
Masalah lingkungan adalah masalah bersama. Bukan saja pemerintah yang menghadapinya. Warga negara pun menghadapinya. Itu berarti demokrasi lingkungan merupakan keniscayaan.
Dengan demikian, masalah lingkungan menjadi masalah bersama. Juga menuntut tanggungjawab bersama untuk mengatasinya. Perihal pelibatan warga negara dalam menangani masalah-masalah lingkungan sebagai perwujudan demokrasi lingkungan, beberapa elemen perlu diperhatikan (Sapto Hermawan, 2021).
Pertama, akses atas informasi lingkungan hidup. Warga negara berhak atas akses informasi mengenai lingkungan hidup. Informasi mengenai hal itu dapat diperoleh warga secara tertulis, visual, elektronik dan digital. Dalam konteks masalah perubahan iklim, warga negara berhak memperoleh riset-riset ilmiah mengenai masalah itu dan cara penanganannya.
Kedua, pelibatan dan partisipasi warga negara dalam menangani masalah-masalah lingkungan hidup. Warga negara terlibat dan berpartisipasi mulai dari tahap identifikasi masalah, perumusan masalah, perencanaan dan proses penanganan masalah, sampai evaluasi dan penanganan lebih lanjut. Program Kampung Iklim merupakan salah satu contoh untuk menunjukkan pelibatan dan partisipasi warga negara dalam masalah lingkungan hidup.
Ketiga, akses atas keadilan lingkungan. Hak atas informasi lingkungan hidup merupakan salah satu ungkapan konkret keadilan lingkungan. Demikian pula partisipasi warga negara dalam penanganan masalah-masalah lingkungan. Warga negara juga berhak dalam mengawal proses peradilan terhadap para pelanggar aturan hukum lingkungan. Pengawalan ini penting agar keadilan lingkungan tidak dicederai oleh kepentingan-kepentingan lain yang bertentangan dengannya.
Tahun 2022 sudah di depan mata. Kemana arah kebijakan lingkungan hidup Presiden Joko Widodo? Pertanyaan ini dapat terjawab bila setiap warga negara, baik secara politis maupun ilmiah terlibat secara aktif memastikan demokrasi lingkungan terus berlangsung. Dengan demikian, kebijakan lingkungan hidup di Indonesia menjadi tanggungjawab bersama.
Sumber :
https://nasional.kompas.com/read/2021/12/28/05450021/kebijakan-lingkungan-hidup-joko-widodo-tahun-2021--politis-atau-ilmiah-?page=all#page2
No comments:
Post a Comment