August 29, 2015
Di tengah rupiah yang kian tak berdaya dibantai Yuan dan Dolar saat ini, kesalahan semua ditumpukan pada impor kita. Semua-semua diimpor. iPhone terbaru diimpor. Mesin-mesin untuk PLTU Batang yang baru diresmikan diimpor. Bahan baku untuk pabrik obat diimpor. Itu barangkali masih dimaklumi. Namun rupanya daging sapi, beras, cabe, susu, kedelai, terasi, hingga garam pun ikutan diimpor. Tak masuk akal memang, negara dengan laut begitu luas dan memiliki garis pantai salah satu yang terpanjang di dunia kok bisa-bisanya garamnya impor.
Tak Berdaulat
Terus terang, gara-gara sedang mengerjakan riset dan menulis buku mengenai life science dan kekayaan keanekaragaman hayati Indonesia, saya menjadi sensitif dengan persoalan ini. Bukunya berjudul “Life Science for Life” yang rencananya diluncurkan minggu depan di Bandung bersamaan dengan peringatan ulang tahun Bio Farma ke 125 tahun. Gara-gara buku ini saya mendalami potensi keanekaragaman hayati dan kekayaan plasma nutfah Indonesia yang luar biasa. Potensi ini seharusnya menjadi hartu karun yang bakal mengantarkan bangsa ini menjadi negara besar nan mandiri.
Kalau kita konfiden, nggak usah noleh kemana-mana, fokus menekuni apa yang kita punya tersebut, maka seharusnya kita tak akan risau rupiah babak-belur dibantai dolar seperti sekarang. Sedih memang, di tengah melimpahnya sumber daya hayati kita justru abai. Kita mengesampingkannya dan cenderung menoleh ke Barat dengan mengembangkan industri otomotif, elektronik, kimia, pesawat terbang, bahkan teknologi nuklir. Sesungguhnya kita malu menjadi bangsa petani; kita malu menjadi bangsa nelayan; kita malu menjadi bangsa peternak. Dengan kekayaan keanekaragaman hayati yang melimpah-ruah, seharusnya industri yang kita kembangkan adalah industri yang berbasis hayati (bioindustry) seperti pertanian, perikanan, peternakan, pariwisata, pengobatan, atau energi terbarukan.
Sebagai negara yang telah terjajah begitu lama, kita silau dengan negara-negara Barat. Kita ikut-ikutan mengembangkan teknologi dan industri yang mereka kembangkan. Kita menjadi pengekor, karena kita berpikir dengan cara begitulah kita akan bisa menjadi semaju mereka. Apakah benar demikian? Menurut konsep keunggulan komparatif negara (comparative advantage of nation) setiap negara seharusnya mengambil bidang-bidang industri dan produk yang menjadi spesialisasinya. Dan melalui mekanisme perdagangan internasional (international trade) mempertukarkannya dengan negara lain.
Jadi, sebenarnya tidak masalah kita mengimpor mobil, mesin-mesin, gadget elektronik, atau pesawat terbang dari negara maju. Asalkan mereka juga mengimpor beras, daging sapi, ikan, cabe, atau susu dari kita. Sekarang yang terjadi mengenaskan, semua-semua kita impor. Kita menjadi negara yang tak mandiri, tak berdaulat. Rupiah tak berdaulat di negerinya sendiri karena kini di Mangga Dua pedagang elektronik lebih pede menggunakan dolar ketimbang rupiah yang terus terjun bebas.
Bioeconomy
Menangisi bangsanya yang kian tak berdaulat, nggak tahu kenapa akhirnya saya sampai kepada sebuah dokumen yang saya googling di internet. Dokumen itu bernama National Bioeconomy Blueprint yang dikeluarkan pemerintahan Obama pada tahun 2012. Dokumen tersebut tak lain berisi strategi Amerika Serikat untuk mengembangkan ekonomi yang berbasis pada life science dan bioteknologi.
Dalam dokumen tersebut menjadi jelas bahwa masa depan ekonomi AS bukan ditopang oleh mesin, kimia, atau IT, tapi oleh life science dan bioteknologi. Mereka menyebutnya bioekonomi (bioeconomy), ekonomi yang pertumbuhannya didorong oleh pemanfaatan riset dan pengembangan life science dan bioteknologi.
Pemerintah Obama memilihnya karena dua alasan strategis. Pertama, industri dan produk hayati menjanjikan potensi luar biasa untuk mendukung pertumbuhan ekonomi karena industrinya sedang emerging. Dan kedua, relatif tidak merusak lingkungan sehingga menghasilkan pertumbuhan berkesinambungan (sustainable growth). Beberapa sektor unggulan dipilih sebagai spesialisasi seperti: kesehatan, pertanian/pangan, energi terbarukan, dan lingkungan.
Yang saya kaget, rupanya AS tak sendiri. Cina yang selama ini kita kenal sebagai “pabriknya dunia” dan paling boros mengonsumsi minyak dan batubara yang mencemari pun mulai gandrung dengan industri hayati. Hal ini dilakukan setelah sektor manufaktur mulai dirasakan menimbulkan dampak pencemaran lingkungan yang mengkhawatirkan. Kini Cina agresif mengembangkan bidang-bidang hayati seperti makanan dan pertanian, kesehatan dan kedokteran, dan energi terbarukan untuk menopang pertumbuhan ekonominya.
Adem Ayem
Yang saya sedih, kenapa yang kepikiran mengembangkan industri dan produk berbasis hayati kok justru mereka bukan kita. Kita yang begitu kaya sumber daya genetik (SDG), spesies dan plasma nutfah baik flora maupun fauna, dan beragam ekosistem justru adem-ayem. Kapal besar ekonomi Indonesia haruslah diputar haluannya untuk fokus memanfaatkan kekuatan kita, yaitu industri dan produk biologi/hayati. Sebagai bangsa besar kita harus bangga menjadi petani kopi. Kita harus konfiden menjadi peternak sapi. Kita harus pede menjadi penambak udang. Kalau kopi, daging sapi, atau udang kita memiliki kualitas kelas dunia so pasti produk tersebut tak kalah dari Android, iPhone, atau sedan Toyota. Starbuck jualan kopi tapi tak kalah keren dibanding Apple. Nilai tambah yang dihasilkan juga tak kalah tinggi dibanding Toyota atau Boeing.
Pemerintah melalui BAPPENAS bersama Kementrian Riset, Teknologi, Pendidikan Tinggi dan terkait seperti Kementerian Pertanian, Kemenko Maritim, Kementerian Pariwisata, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sudah waktunya duduk bersama untuk merancang konsep pembangunan berbasis ilmu hayati, sejenis dengan National Bioeconomy Blueprint-nya Pemerintah Obama. Di dalam konsep tersebut kita harus menetapkan arah dan kebijakan pembangunan bioekonomi Indonesia.
Itu kalau kita tak mau rupiah terus terjun bebas hingga ke titik 30.000. Itu kalau kita tak mau rupiah tak berdaulat di negerinya sendiri karena kita terlalu bergantung pada impor. Ingat, kemandirian dan kedaulatan menjadi sesuatu yang kian mahal di negeri ini.
Sumber :
https://www.yuswohady.com/2015/08/29/bioekonomi/
No comments:
Post a Comment