Pages

Sunday, December 29, 2024

Inovasi Filter Mikroplastik

Teknologi Bulk Acoustic Wave untuk Penyaringan Mikroplastik Efektif

Mikroplastik adalah ancaman lingkungan yang semakin mendesak. Partikel-partikel plastik kecil ini, yang berukuran kurang dari 5 mm, telah mencemari ekosistem darat dan laut, bahkan masuk ke dalam rantai makanan manusia. Untuk mengatasi masalah ini, para ilmuwan mengembangkan teknologi inovatif berbasis Bulk Acoustic Wave (BAW) yang mampu menyaring mikroplastik secara efisien dari air.

Apa Itu Bulk Acoustic Wave (BAW)?

Bulk Acoustic Wave (BAW) adalah gelombang akustik yang merambat melalui medium padat atau cair. Dalam konteks penyaringan mikroplastik, teknologi ini memanfaatkan getaran ultrasonik untuk memisahkan partikel berdasarkan ukuran, densitas, dan sifat materialnya.

Prinsip utama teknologi BAW adalah menciptakan medan tekanan akustik yang dapat mengarahkan mikroplastik ke area tertentu dalam cairan. Proses ini bekerja tanpa memerlukan bahan kimia tambahan, menjadikannya solusi yang ramah lingkungan.

Cara Kerja Teknologi BAW dalam Penyaringan Mikroplastik

  1. Generasi Gelombang Akustik

    • Gelombang akustik dihasilkan menggunakan elemen piezoelektrik yang dikendalikan oleh generator frekuensi tinggi.
    • Getaran ultrasonik menciptakan medan tekanan dalam air yang mengandung mikroplastik.
  2. Pemisahan Mikroplastik

    • Mikroplastik terdorong menuju area tertentu berdasarkan massa dan ukuran partikelnya.
    • Partikel yang lebih kecil atau memiliki densitas lebih rendah akan merespons medan tekanan dengan cara yang berbeda dari partikel lainnya.
  3. Pengumpulan Mikroplastik

    • Mikroplastik yang telah dipisahkan kemudian dikumpulkan menggunakan perangkat penyaring tambahan atau sistem aliran.
    • Air yang sudah bersih dilepaskan ke lingkungan atau digunakan kembali.

Keunggulan Teknologi Bulk Acoustic Wave

  1. Efisiensi Tinggi
    Teknologi BAW dapat memisahkan partikel berukuran sangat kecil dengan tingkat presisi yang tinggi, menjadikannya solusi ideal untuk mikroplastik.

  2. Ramah Lingkungan
    Karena tidak menggunakan bahan kimia tambahan, teknologi ini mengurangi dampak lingkungan dibandingkan metode penyaringan konvensional.

  3. Fleksibilitas Aplikasi
    Sistem ini dapat diintegrasikan dalam berbagai jenis fasilitas pengolahan air, seperti instalasi air limbah domestik, industri, dan pemurnian air minum.

  4. Minim Pemeliharaan
    Teknologi ini menggunakan komponen yang tahan lama dan minim perawatan, sehingga mengurangi biaya operasional jangka panjang.

Aplikasi Potensial Teknologi BAW

  1. Pengolahan Air Limbah
    Diterapkan pada instalasi pengolahan limbah domestik dan industri untuk mencegah mikroplastik memasuki lingkungan perairan.

  2. Pemurnian Air Minum
    Membersihkan air dari partikel mikroplastik, meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat.

  3. Pemulihan Ekosistem Laut
    Teknologi ini dapat digunakan pada kapal atau instalasi terapung untuk menyaring mikroplastik langsung dari laut.

  4. Industri Pakaian
    Mencegah pelepasan mikroplastik dari serat sintetis selama proses pencucian dengan memasang filter BAW pada mesin cuci.

Tantangan dan Masa Depan Teknologi BAW

Meski menjanjikan, teknologi BAW menghadapi beberapa tantangan:

  • Skalabilitas: Memproduksi perangkat dalam skala besar dan biaya terjangkau masih menjadi kendala.
  • Energi: Operasi BAW memerlukan sumber daya energi yang stabil, sehingga perlu inovasi untuk meningkatkan efisiensi energi.

Namun, dengan meningkatnya perhatian terhadap polusi mikroplastik, investasi dalam penelitian dan pengembangan teknologi BAW terus meningkat. Dalam waktu dekat, teknologi ini diharapkan menjadi salah satu solusi utama untuk mengatasi masalah mikroplastik global.

Kesimpulan

Teknologi Bulk Acoustic Wave adalah inovasi mutakhir yang mampu menyaring mikroplastik dengan cara yang efektif, ramah lingkungan, dan fleksibel. Dengan adopsi teknologi ini, dunia dapat mengambil langkah signifikan dalam melindungi ekosistem, meningkatkan kualitas air, dan mengurangi dampak buruk mikroplastik pada kesehatan manusia.


Sumber :

https://www.its.ac.id/news/en/2021/12/03/its-students-innovation-for-a-microplastic-free-ocean/

Trash Trap, Solusi Memerangi Mikroplastik

Plastik sudah banyak memudahkan hidup manusia dalam berbagai keperluan. Sifatnya yang ringan, mudah dibentuk, dan praktis membuat plastik banyak digunakan di beberapa produk sehari-hari.

Namun, siapa sangka plastik akan turut menjadi penyumbang sampah terbesar bagi bumi. Dikutip dari Republika, sekitar delapan juta ton sampah plastik terbuang dan terdeposit di lautan. Mengganggu kehidupan hewan-hewan laut di dalamnya juga menimbulkan ancaman mikroplastik bagi dunia.


Asal Muasal Mikroplastik

Mikroplastik adalah pecahan plastik yang berukuran kurang dari 5 mm. Sampah plastik di laut merupakan sumber dari mikroplastik yang telah mengalami proses dekomposisi. Sehingga plastik berukuran besar terurai menjadi partikel kecil yang dapat mengotori lautan karena ukurannya yang terlalu kecil sehingga sulit untuk disaring.

Mikroplastik sangat dikhawatirkan masuk ke tubuh manusia. Organisasi internasional Plastic Health Coalition menyebut bahwa paparan mikroplastik dalam tubuh manusia mampu menyebabkan kerusakan DNA, peradangan, hingga masalah kesehatan serius lainnya.

Kabar baiknya, berbagai inovasi telah ditemukan untuk memerangi mikroplastik termasuk penemuan filter yang terbuat dari Indonesia. 


Inovasi Filter Mikroplastik Buatan Indonesia

Melalui laman resminya, tim mahasiswa dari Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya menemukan sebuah alat berupa penyaring yang berguna untuk menyaring mikroplastik dengan basis Bulk Acoustic Wave (BAW). Tim beranggotakan dua perempuan dan tiga laki-laki tersebut memanfaatkan gelombang akustik yang bersumber dari pengeras suara untuk membuat filter ini bekerja.

Gelombang akustik tersebut mendorong partikel-partikel mikroplastik sehingga dapat tersaring dari air. Tak hanya menyaring mikroplastik dari air laut, alat ini juga mampu bekerja untuk menyaring air tawar. 

Skema alat penyaring ini diawali dengan pemompaan air hingga air mengalir ke dalam alat melalui pipa akrilik. Kemudian, air akan dialirkan melewati dua buah pengeras suara full range yang mengapit pipa akrilik tersebut. Pengeras suara yang digunakan menimbulkan gaya dorong hingga partikel mikroplastik terpusat ke jalur pipa bagian tengah dan air akan terfiltrasi melalui pipa ujung kanan dan kiri. 

Inovasi yang diawali atas kekhawatiran degradasi sampah plastik di laut mampu mewujudkan 14 poin SDGs (Sustainable Development Goals) tentang menjaga ekosistem laut. Inovasi ini juga mampu menghasilkan medali perak pada Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (PIMNAS) di 2021 lalu. 


Magnet Ferrofluid Buatan Anak Usia 12 tahun

Inovasi lainnya berasal dari inventor muda berusia 12 tahun, Fionn Ferreira. Masa kecilnya yang ia habiskan di pesisir pantai dekat kampung halamannya yang penuh dengan sampah plastik, membuat ia bertekad untuk menghilangkan plastik kecil yang berasal dari sampah plastik di laut ini. Pada usia ke-12, pemuda asal Irlandia ini menemukan solusi menghilangkan mikroplastik dari air. 

Dengan tekadnya, ia merancang spektrometer yang menggunakan sinar ultraviolet guna mengukur tingkat kepadatan mikroplastik dalam larutan. Lalu, ia mencampur minyak dengan bubuk oksida besi untuk membuat cairan magnetik yang dikenal dengan sebutan dengan Ferrofluid. Kemudian, cairan magnet tersebut dapat digunakan untuk menghilangkan mikroplastik dalam larutan air, sehingga hanya menyisakan air yang bersih. 

Ferreira harus melakukan percobaan hingga 5000 kali, hingga ia mampu menciptakan metode ekstraksi mikroplastik dalam air ini secara 87% efektif. Atas temuannya, ia pun berhasil memenangkan kompetisi di Google Science Fair dan mendapatkan beasiswa senilai $50.000 atau setara dengan 117 juta rupiah pada 2019 lalu.

Kini, ia terus melanjutkan langkahnya sebagai ilmuwan sekaligus aktivis lingkungan bahkan telah mendapatkan penghargaan majalah Forbes dalam Forbes 30 under 30. 

Trash Trap, Penyaring Sampah di Sungai

Sesuai dengan namanya, trash trap berguna untuk menjerat sampah yang ada di sungai. Hal ini dilakukan sebagai langkah preventif untuk memberhentikan laju sampah plastik di laut yang nantinya dapat menyebabkan timbulnya mikroplastik. Penggunaan trash trap ini telah banyak diterapkan di berbagai negara, termasuk di Indonesia. 

Pemerintah kota Tangerang salah satunya. Penerapan penyaring sampah  di instalasi di Sungai Cisadane, Tangerang. Dengan bekerja sama bersama Yayasan Banksasuci, Aliansi Air DAS Cisadane, serta Multi Bintang Indonesia, instalasi penyaring sampah ini dilakukan pada 2020 lalu.

Penyaring berbahan dasar pipa PVC dan galvanis ini mampu mengurangi pencemaran air di sungai Cisadane dari sampah secara signifikan sehingga berdampak pada pengurangan jumlah sampah plastik di laut. Sampah yang terjerat dikumpulkan dan dikirim untuk dikelola oleh bank sampah setempat yang kemudian menghasilkan sejumlah dana yang kemudian digunakan menjadi penghasilan tambahan bagi masyarakat sekitar.

Meski penggunaan trash trap ini efektif digunakan, wali kota Tangerang tetap menghimbau warga nya untuk menjaga kebersihan sungai dari sampah. 

Instalasi penyaring sampah juga diterapkan di Nusa Tenggara Barat. Pemuda dari Central Environmental and Fisheries (CEF) menciptakan alat penyaring sampah yang terbuat dari tong plastik, jaring besi, dan kawat sebagai tali pengikat.


Kondisi Pantai Labuhan Haji, Nusa Tenggara Barat yang dipenuhi sampah akibat dari aliran sampah di sungai membuat mereka tergerak untuk mengantisipasi sampah di sungai. Tidak hanya berfungsi menjerat sampah, trash trap juga mampu digunakan sebagai alat penyeberangan sungai yang dapat digunakan oleh masyarakat sekitar. 


Sumber :

https://waste4change.com/blog/trash-trap-solusi-memerangi-mikroplastik/#:~:text=Melalui%20laman%20resminya%2C%20tim%20mahasiswa,(PIMNAS)%20di%202021%20lalu.

Sunday, October 13, 2024

Gambaran Umum Circular Economy : Bab 3.2

Kelemahan dalam model Linear Economy


Sementara ekonomi linier telah sangat berhasil dalam menghasilkan kekayaan bagi negara-negara maju hingga abad ke-20, namun dampak yang ditimbulkannya telah menimbulkan berbagai masalah serius yang telah dibuktikan oleh para ekonom dan ilmuwan sebagai paradigma ekonomi yang tidak-berkelanjutan (unsustainable), terutama dampaknya terhadap aspek sosial dan lingkungan.

Para pakar di seluruh dunia telah memperingatkan para pengambil keputusan, industrialis, serta masyarakat umum tentang dampak dari ekonomi linear, terkait dengan pengelolaan sumber daya yang boros (bahan bakar fosil), bahan baku yang mulai berkurang, populasi dunia yang terus meningkat, serta pencemaran dan sampah yang dihasilkan dalam proses ekstraksi/pembudidayaan bahan baku dan/atau industri pengolahan.

Ekonomi Linear diatur oleh prinsip yang destruktif untuk menghasilkan lebih banyak produk dari sumber daya yang tersedia murah dengan rentang hidup yang pendek (untuk diproduksi lebih banyak lagi, tentu saja), suatu pendekatan dimana nasib produk setelah melampaui masa manfaatnya akan di buang ke tempat sampah dan dibakar. Dan ironisnya, skema pengelolaan sampah modern yang bertujuan untuk menghasilkan panas dan listrik dari pembakaran termasuk biogas dan kompos di tempat pembuangan sampah, secara konseptual terkait dengan model linier karena cenderung "mendorong" timbulan sampah dan alih-alih menghindarinya sejak dini.

Menurut Ellen MacArthur Foundation (EMF), permasalahan di dalam Ekonomi Linear ini berasal dari distribusi kekayaan yang tidak merata secara historis berdasarkan wilayah geografis. Karena konsumen yang membutuhkan sumber daya sebagian besar terkonsentrasi di negara maju (masyarakat barat), dan input material semakin banyak bersumber dari arena global, negara-negara industri mengalami kelimpahan sumber daya material dan energi. Dengan aransemen seperti ini, bahan baku menjadi terasa lebih murah dibandingkan dengan biaya tenaga kerja, sehingga para produsen termotivasi untuk mengadopsi model bisnis yang memanfaatkan penggunaan material secara ekstensif. Terlebih lagi, semakin banyak energi dan material yang dapat mereka manfaatkan untuk melengkapi sumber daya manusia, maka akan semakin banyak keunggulan kompetitif yang dapat mereka peroleh. Konsekuensi alami dari bahan yang murah adalah pengabaian untuk mendaur ulang (recycle), menggunakan kembali (reuse) yang dampaknya akan menghasilkan lebih banyak limbah.

EMF juga menyatakan bahwa berdasarkan data dari sumber profesional, harga komoditas telah mencapai titik yang kritis di tahun 1999 mengakibatkan biaya material yang sebelumnya menurun memperoleh momentum kenaikan yang tidak stabil. Kenaikan harga dan volatilitas yang tinggi dapat dikaitkan dengan meningkatnya permintaan yang mendorong output ke titik dalam kurva biaya di mana tambahan biaya produksi menjadi sangat mahal yang disertai dengan mulai menipisnya lokasi ekstraksi yang dapat diakses. Situasi ini secara paralel juga diikuti dengan meningkatnya persaingan, yang menghambat perusahaan untuk menaikkan harga kepada pelanggan mereka, yang pada akhirnya mengurangi keuntungan perusahaan serta menurunkan nilai total output ekonomi.

Sunday, October 6, 2024

Gambaran Umum Circular Economy : Bab 3.1

BAB 3

LINEAR ECONOMY

Peradaban di seluruh dunia telah mengalami perubahan yang sangat signifikan dalam beberapa abad terakhir ini. Sejak ditemukannya mesin uap oleh Thomas Avery di tahun 1684, peradaban manusia mengalami lompatan besar yang merubah sendi-sendi kehidupan. Penemuan tersebut menjadi tonggak awal lahirnya revolusi industri yang telah mentransformasi kemampuan kita untuk memproduksi berbagai macam jenis barang. Revolusi Industri telah mengubah manusia dalam menjalankan usaha, perekonomian, serta masyarakat. Pergeseran ini memiliki efek besar pada dunia dan terus membentuknya sampai dengan hari ini. Dan diikuti dengan pesatnya kemajuan teknologi yang terus berlanjut, inovasi yang dihasilkan membuat banyak orang kini memiliki akses ke produk dari seluruh dunia dengan harga yang relatif terjangkau. Produk-produk ini telah membawa kita pada tingkat kenyamanan yang tak terbayangkan oleh generasi sebelumnya.

Sebelum era industrialisasi, sebagian besar negara di dunia memiliki ekonomi yang didominasi oleh pertanian dan kerajinan tangan. Struktur sosial sebagian besar tetap tidak berubah sejak Abad Pertengahan. Pada saat itu, kebanyakan orang jarang bepergian ke luar desa kecil dan menengah tempat mereka tinggal. Orang pedesaan bekerja sebagai petani subsistem, yang berarti mereka bercocok tanam untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri serta keluarga mereka, bukan untuk dijual atau diperdagangkan. Dan ketika era industrialisasi dimulai, pekerjaan dan kehidupan keluarga di seluruh dunia berangsur-angsur mengalami perubahan.

Bahan baku serta energi yang dirasakan melimpah tanpa batas serta kaum pekerja yang tersedia, membuat peradaban manusia pertama kali dalam sejarah mampu untuk memproduksi barang dalam jumlah yang sangat besar. Produk-produk yang sebelumnya hanya dapat dimiliki oleh orang-orang kaya dan para raja dan bangsawan, tiba-tiba bisa tersedia dan terjangkau oleh semua kalangan. Dan istilah economy of scale mulai muncul, suatu istilah mengenai upaya untuk mengendalikan biaya dalam menghasilkan barang dengan memproduksi dalam skala yang besar.

Perekonomian berjalan seperti sungai, di mana apabila alirannya dihentikan maka banjir tidak bisa dihindari. Oleh karenanya, barang yang diproduksi harus segera bisa dijual. Namun demikian, disebabkan oleh mass production ini, perusahaan dihadapkan pada risiko akan munculnya stock yang berlebih dan tentunya juga harus dibarengi dengan serapan pasar yang besar agar produk tersebut dapat dibeli dan dikonsumsi oleh pasar.

Selain itu tidak semua barang-barang yang diproduksi tersebut dapat digunakan secara terus menerus. Ada produk yang hanya digunakan beberapa jam saja dalam sehari, atau bahkan sekali dalam seminggu, namun pembuatannya membutuhkan banyak sumber daya alam. Dan apabila telah mencapai akhir umur produk, maka produk tersebut akan dibuang ke tempat pembuangan sampah.

Inilah model ekonomi yang disebut dengan Linear Economy (LE), sebuah konsep ekonomi konvensional, di mana sumber daya alam di-ekstrak, diproses, dan ketika telah mencapai masa akhir produk akan dibuang ke tempat sampah.

Model Linear Economy secara tradisional adalah serangkaian proses yang dimulai dengan ekstraksi (take), membuat (make), memakai (use), dan membuang (dispose). Artinya bahan mentah dikumpulkan, kemudian diubah menjadi produk yang digunakan sampai akhirnya dibuang sebagai limbah. Nilai atau value diciptakan dalam sistem ekonomi ini dengan cara memproduksi serta menjual produk sebanyak-banyaknya.

Saturday, September 28, 2024

Gambaran Umum Circular Economy : Bab 2.9



REVOLUSI BIRU

Pohon dan hutan sesungguhnya bukanlah penyumbang penghasil oksigen terbesar di dunia. Yaitu pohon dan hutan hanya menyumbang oksigen sebesar 20% bagi bumi. Dan penghasil oksigen terbesar ternyata berasal dari laut. Fitoplankton adalah penghasil oksigen terbesar yang berada di samudera, yaitu sebesar 50-85% bagi bumi.

Fitoplankton adalah organisme jenis plankton yang sering disebut sebagai mikroalga. Ukuran fitoplankton sangatlah kecil, yaitu berkisar 0,2 𝛍m sampai > 20 𝛍m (1 𝛍m = 0,001 mm), meski kecil, fitoplankton jumlahnya sangat besar, sehingga warna air menjadi kehijauan (pengaruh klorofil). 

Plankton terdiri dari sisa-sisa hewan dan tumbuhan laut yang telah mati. Plankton menjadi makanan utama bagi kebanyakan makhluk laut lainnya.

Fitoplankton mendapatkan energi melalui proses fotosintesis dengan menyerap karbondioksida di atmosfer dan mengubahnya menjadi oksigen. Sehingga tidak hanya menghasilkan oksigen, fitoplankton juga bisa mengikat karbondioksida dari atmosfer.

Jika fitoplankton mati dan membusuk di perairan maka oksigen yang telah diproduksi, digunakan bakteria. Sehingga menyebabkan perairan kekurangan oksigen. Kemampuan mengikat karbondioksida dari atmosfer tersebut membuat fitoplankton berfungsi penting sebagai pengendali iklim global, tanpanya atmosfer dan iklim di bumi akan menjadi lebih panas.

Pemanasan global dan polusi saat ini memperburuk kadar oksigen di lautan. Berdasarkan penelitian dari badan konservasi International Union for Conservation of Nature (IUCN) perubahan iklim mengakibatkan turunnya level oksigen pada lautan, bahkan sekitar 700 lautan di dunia mengalami kekurangan oksigen. 

Selain dikarenakan perubahan iklim dan pemanasan global, penyebab lainnya adalah karena polusi kimiawi dari pesisir pantai, misalnya nitrogen dan fosfor.

Perubahan ini dapat mengubah kehidupan laut secara signifikan, dimana laut dengan kadar oksigen tipis tidak dapat dihuni oleh hiu dan tuna, dan hanya dapat dihuni oleh ubur-ubur. Jika emisi masih seperti sekarang, maka pada tahun 2100 diperkirakan lautan akan kekurangan 3-4 persen oksigen dari saat ini. 

Menurut Lembaga Ilmu Pengetahuan Nasional Australia menemukan bahwa terdapat sekitar 14 juta ton potongan plastik berukuran kecil atau plastik mikro di dasar laut. Fakta bahwa tingkat pencemaran di dasar laut dua kali lipat dari tingkat pencemaran di permukaan. 

Polusi plastik di laut dunia menjadi isu lingkungan. Sehingga perlu segera dicari solusi yang efektif bagi polusi plastik. Salah satunya menyusun strategi pengelolaan limbah serta menciptakan perubahan perilaku dan peluang untuk mencegah plastik maupun sampah lainnya memasuki lingkungan dan laut.

Misalnya dengan mengurangi plastik yang berakhir di lautan dengan cara menghindari penggunaan plastik sekali pakai, mendukung industri daur ulang dan limbah. Termasuk dengan membuang sampah dengan bijak.

Untuk itu selain revolusi hijau di daratan, perlu juga digalakkan revolusi biru demi menjaga kelestarian lingkungan di samudera.

Dan pada akhirnya langit di planet Bumi kita akan tetap biru, serta lautan di Bumi juga akan tetap Biru. Sehingga pada akhirnya planet Bumi kita jika dilihat dari luar angkasa juga akan tetap biru.

Sunday, September 15, 2024

Gambaran Umum Circular Economy : Bab 2.8

PUNTUNG ROKOK

Artikel ini tidak berfokus membahas asap rokok, termasuk tidak membahas rokok yang dapat menyebabkan kanker, karena Total Aerosol Residue (TAR) sebagai partikulat dari produk tembakau, seperti rokok, cerutu, dan tembakau linting. 

Namun kita akan membahas salah satu bagian dari rokok filter. Puntung rokok kecil dan cenderung tidak diperhatikan tetapi mereka bersembunyi hampir di mana-mana. 

Tapi tunggu dulu, bukankah puntung rokok terbuat dari kapas atau kertas? TIDAK, puntung rokok sebagian besar terbuat dari plastik. Bertentangan dengan apa yang diyakini banyak orang, puntung rokok tidak berbahaya. Mereka terbuat dari selulosa asetat, bahan plastik buatan manusia, dan mengandung ratusan bahan kimia beracun.

Filter ini dibuat menggunakan plastik sintetis yang disebut selulosa asetat untuk mengurangi paparan dari bahan kimia dalam asap rokok. Saat rokok usai dihisap, filter ini biasa kita sebut sebagai puntung rokok.

Sebenarnya selulosa asetat dapat dengan cepat terdegradasi dalam hitungan bulan di bawah kondisi yang tepat, namun umumnya puntung rokok yang dibuang di tempat terbuka memakan waktu hingga 10 tahun untuk terurai sehingga menambah masalah bagi lingkungan. 

Serat selulosa asetat, seperti mikroplastik lainnya, juga merupakan polutan umum yang ditemukan di ekosistem, bahkan terakumulasi di dasar laut dalam. Sehingga selain berdampak buruk bagi lingkungan, puntung rokok juga dapat merusak tanaman dan hewan.

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), setidaknya dua pertiga puntung rokok ditemukan berserakan di trotoar atau selokan, dan akhirnya berujung di lautan. Yaitu sebanyak dua pertiga dari total 5,6 triliun batang rokok atau 4,5 triliun puntung rokok yang dihisap setiap tahun dibuang sembarangan.

Berdasarkan data dari CNN (hari Jumat, tanggal 25 Januari 2019), sekitar 6 triliun rokok diproduksi setiap tahun dan lebih dari 90% filternya mengandung plastik, hal ini setara dengan 1 juta ton plastik setiap tahun yang diproduksi dari rokok.

Lalu apa dampak puntung rokok yang dilemparkan ke tanah terhadap tanaman?

Dikutip dari theconversation dot com yang melakukan percobaan dengan meletakkan puntung rokok baru dan puntung rokok bekas dibakar ke pot berisi rumput untuk melihat pengaruhnya. 

Pertumbuhan tanaman di sekitar kayu kecil versus pertumbuhan tanaman di sekitar puntung rokok. Puntung rokok mengurangi tumbuhnya kecambah pada rumput hingga 25%, dan puntung rokok mengurangi jumlah biomassa akar semanggi hampir 60%.

Itu lah puntung rokok, bahan yang mengandung plastik yang menjadi polusi terbesar. Kecil tapi mematikan.

Tuesday, September 10, 2024

Gambaran Umum Circular Economy : Bab 2.7

SEDOTAN PLASTIK

Limbah plastik diantaranya dari kontribusi kantong kresek dan botol plastik, serta yang paling besar adalah sedotan plastik sekali pakai. Data menunjukkan bahwa 86% sampah plastik di dunia berasal dari Asia. Bahkan menurut Jenna R Jambeck, seorang ahli lingkungan, bahwa Indonesia berada pada posisi kedua dunia sebagai negara penyumbang sampah plastik ke lautan. Diprediksi oleh Ecowatch, bahwa pada tahun 2025 Indonesia akan menjadi salah satu dari lima negara penyumbang sampah plastik terbesar di dunia.

Berdasarkan data dari Divers Clean Action pemakaian sedotan di Indonesia setiap harinya mencapai 93.244.847 batang atau jika direntangkan mempunyai panjang 16.784 km, ini setara jarak antara Jakarta ke kota Meksiko.

Artinya dalam seminggu pemakaian sedotan tersebut sama dengan 117.449 kilometer, jika diketahui bahwa jarak satu kali keliling Bumi adalah 40.075 maka sedotan tersebut dapat mengitari Bumi sebanyak 3 kali. 

Parahnya, sampah sedotan plastik tersebut mengotori perairan dan pantai di Indonesia. Padahal sedotan ini hanya digunakan sesaat saja namun perlu waktu bertahun-tahun untuk terurai. Jika remahan plastik atau microplastic masuk ke lautan dan dimakan binatang laut yang pada akhirnya juga akan dikonsumsi manusia.

Solusi sederhana adalah menggunakan sedotan pakai ulang yang saat ini mulai menjadi budaya kaum urban baru dan menjadi tren gaya hidup baru di masyarakat. Sedotan yang ramah lingkungan ini berbahan dasar dari sedotan stainless steel, bambu, kaca hingga bioplastic.